“Nikmati saja, suatu saat kamu akan merindukan saat-saat ini.”, ya, sebuah kalimat yang bisa memotivasi diri untuk tetap bertahan kala itu. Dan tentu bukan hanya di sebuah kepengurusan LDK yang harus membuat saya “menikmati waktu” yang telah diberikan Allah. Karena waktu adalah sebuah anugrah dari Allah yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Bukan begitu?
Hmm..lagi, karena di link sebuah
video yang awalnya tidak saya mengerti (belajar listening lagi euy), dan
setelah dijelaskan barulah saya “ngeh”, meskipun sebelumnya juga saya sudah
baca liriknya, tapi tetap aja nggak “ngeh”. Hehe.
Sedikit cuplikan dari so soon nya
maher zain:
You went so soon, so soon
You left so soon, so soon
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I’ve got to stop the tears, keep my faith and be strong
I’ll try to take it all, even though it’s so hard
I see you in my dreams but when I wake up you are gone
Gone so soon
Night and day, I still feel you are close to me
And I remember you in every prayer that I make
Every single day may you be shaded by His mercy
But life is not the same, and it will never be the same
But I’m so thankful for every memory I shared with you
‘Cause I know this life is not forever
Sempat menyesal tidak berada di samping beliau saat malaikan izrail menjemput. Hanya mendapat sms, itu saja. Dan sayapun pulang, sendirian, sebelum subuh pula. Nekat bin kepepet. Di pagi buta yang sayup-sayup terdengar adzan subuh saat perjalanan menembus angin dan pekat menuju bungurasih, dengan vario pink yang masih belum dijual. Teringat kutipan dari majalah tarbawi edisi spesial ayah:
You left so soon, so soon
I have to move on ’cause I know it’s been too long
I’ve got to stop the tears, keep my faith and be strong
I’ll try to take it all, even though it’s so hard
I see you in my dreams but when I wake up you are gone
Gone so soon
Night and day, I still feel you are close to me
And I remember you in every prayer that I make
Every single day may you be shaded by His mercy
But life is not the same, and it will never be the same
But I’m so thankful for every memory I shared with you
‘Cause I know this life is not forever
Sempat menyesal tidak berada di samping beliau saat malaikan izrail menjemput. Hanya mendapat sms, itu saja. Dan sayapun pulang, sendirian, sebelum subuh pula. Nekat bin kepepet. Di pagi buta yang sayup-sayup terdengar adzan subuh saat perjalanan menembus angin dan pekat menuju bungurasih, dengan vario pink yang masih belum dijual. Teringat kutipan dari majalah tarbawi edisi spesial ayah:
“Sebab ayah kita sering ‘mendefinisikan dirinya
justru tanpa definisi’. Ayah kita menjelaskan dirinya seperti apa adanya dia,
melalui keseluruhan hidupnya yang ia berikan untuk kita. Tanpa banyak kata
keterangan, tanpa banyak tafsiran, tanpa banyak lampiran. Itulah yang disebut
dengan “Cara ayah kita mencintai kita.”” (Tarbawi Edis Khusus)
Saat itu yang saya pikirkan hanya secepatnya sampai
di rumah. Fragmen-fragmen itu masih sangat kuingat. Perjalanan menuju pulang ke
madiun yang sangat berbeda. Tapi Allah masih selalu menguatkanku. Sesampainya
di bungurasih, kuparkir motor di tempat penitipan motor seperti biasa. Masih
gelap, jam 5 kurang seingatku. Langsung mencari bus panda yang biasa
mengantarku pulang ke madiun. Lagi-lagi, masih sepi. Sambil terus bedoa dan
berharap, bus ini segera penuh dan melaju meninggalkan surabaya.
Dingin, sambil menunggu bus penuh, ada seorang bapak
yang mengajakku mengobrol. Ya, pembicaraan biasa yang sering terjadi saat naik
kendaraan umum. Mau kemana, aslinya mana, dll. dan aku masih lancar
menjawabnya. Akhirnya mungkin sekitar jam 5 lebih, bus mulai meninggalkan
terminal. Al-ma’tsurat dan surat pendek mengiri perjalanan pulangku. Masih
ingat, saat seorang bapak-bapak pengamen yang sepertinya memperhatikan aku
selama menyanyi di depan, berkata, “dilanjutkan dek”, sambil berlalu setelah
menaruh gelas air mineral kosong di depanku untuk diisi “seikhlasnya”. Mungkin
maksudnya adalah membaca surat-surat pendek itu (soalnya saya pegang juz amma
kecil sambil membacanya meski lirih). Ayat-ayat itu yang menguatkanku. Allah
yang menguatkanku.
Sekitar jam 9 mungkin sampai di te’an. Sebuah
persimpangan yang merupakan jalan menuju ke rumahku. Dijemput oleh tetanggga sekaligus
saudara yang istrinya merupakan sahabat karib ibuku. Hening, percakapan dimulai
dengan menanyakan jam berapa dari surabaya, dan penjelasan kondisi rumah
sekarang. Sesampainya depan rumah, sudah ramai. Para pelayat sudah memenuhi
dalam rumah, teras, dan halaman rumah. Disambut oleh sahabatku yang kebetulan
sedang liburan di Madiun. Dan ketika sampai di dalam, mendapati ibu yang sedang
menangis sambil berusaha tegar memelukku, anak satu-satunya yang di saat
terakhir ayahnya bahkan sedang terlelap di kasur yang nyaman beberapa puluh kilometer dari rumah.
Masih ingat saat beliau sakit di rumah sakit Malang,
sudah lama rasanya kami tidak bersama dalam satu ruangan yang terasa “sangat
hangat”. Biasanya bergantian dengan ibu saat keluar atau membeli keperluan untuk
kami sendiri atau untuk bapak. Jalan kaki mencari bubur ayam di Malang, pergi
ke pasar yang benar-benar tak kukenali, “ngangkot” karena pengen sesekali
jalan-jalan meski berujung pada tempat yang tidak kuketahui dan hanya memotret
lalu pulang. Karena saya manusia, punya rindu pastinya. Punya kenangan-kenangan
yang mungkin akan hidup sampai entah kapan. Yang jelas, rindu dan kenangan itu
jangan sampai membuat malas berbuat,enggan berkembang, dan mematikan potensi. Karena rindu itu menguatkan, karena
kenangan itu memperbaiki.
“Apabila seorang manusia meninggal
maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah atau ilmu yang
bermanfaat sesudahnya atau anak yang shalih yang mendo’akannya”. (Hadits
riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)
Comments