Mendengar kisahnya ketika sedang
bersama kawan dan ustadzah dalam pengajian. Sebuah cerita singkat yang tidak
berlalu begitu saja. Sebuah cerita singkat yang cukup membekas di ingatan. Seorang
muslimah tangguh yang meninggal beberapa waktu lalu. Dan tanpa sengaja saya
membicarakan muslimah tersebut dengan
salah seorang kakak akhwat. Dan ternyata sama, kagum dengan perjuangan beliau. Sampai
menemukan surat sang suami untuk muslimah yang meninggal tersebut di blog kakak
akhwat.
Sangat jauh...perjalanan masih
sangat panjang. Ya, ketika membaca dari sosok muslimah dari surat suami
tersebut membuat saya menyadari bahwa perjalanan masih sangat panjang. Tidak cukup
berhenti di sini. Sanggupkah saya mencapainya? Semoga Allah senantiasa memberikan
jalan yang lurus hingga kelak mampu mempertanggungjawabkan semuanya.
Berikut cuplikan surat sang suami
untuk istrinya yang meninggal....
Selamat
Jalan Istriku, Engkau Layak Atas Karunia Syahid itu
17 tahun yang lalu, saat masih aktif menjadi penulis
buletin dakwah, aku membaca nama pelanggan yang memesan buletin tersebut. Hj.
Robiatul Adawiyah, pasti wanita yang sudah tua. Sudah naik haji dan namanya
jadul sekali. “Akhi, seperti apa sih ibu Robiatul ini” tanyaku
kepada Pak Marjani yang bertugas mengantar buletin. ”Ndak tahu,
nggak pernah ketemu, yang saya tahu dia pesan buletin itu untuk di kirim via
bis ke Kotabangun”. Wah wanita yang
mulia, mau menyisihkan uang untuk berdakwah kepada masyarakat di hulu sungai
Mahakam. Tak lama kemudian setelah kita menikah, Buletin Ad Dakwah dari Yayasan
Al Ishlah Samarinda diantar ke rumah. Ternyata wanita mulia tersebut adalah
engkau istriku, bukan wanita tua seperti yang kukira. Melainkan mahasiswi yang
aktif mengajar di Taman Al Quran.
Istriku,
beruntung aku dapat memilikimu. Sudah beberapa pemuda kaya yang mencoba
mendekatimu tetapi selalu kau tolak. Kelembutanmu dan kedudukanmu sebagai putri
seorang ulama besar menjadi magnet bagi para pria yang ingin memiliki istri
sholehah. Kamu beralasan belum ingin menikah karena mau konsentrasi kuliah.
Padahal alasan utamanya adalah kamu masih ragu dengan kesholehan mereka. Ketika
Ustadzah Purwinahyu merekomendasikan diriku, tanpa banyak tanya kau langsung
menerimaku. Hanya karena aku aktif ikut pengajian kau mau menerimaku, tanpa
peduli berapa penghasilanku.
Istriku, semua orang
mengakui bahwa kau wanita yang tangguh. Jarang seorang wanita bercita-cita
memiliki delapan anak sepertimu. Melihatmu seperti melihat wanita Palestina
yang berada di Indonesia. Jika bertemu dengan Ustadz Hadi Mulyadi, suami mba
Erni ustadzahmu, pasti pertanyaan pertama kepadaku adalah, “Berapa
sekarang anakmu?”. Sering orang bertanya kepadaku, “Gimana
caranya ngurus anak sebanyak itu?” Mudah,
rahasianya adalah menikahi wanita yang tangguh sepertimu.
Kehangatanmu membuat anak-anak kita merasa nyaman di
dekatmu. Di saat kau lelah sepulang dari mengisi halaqoh atau ta’lim mereka
segera menyambutmu dan melepaskan kekangenan mereka. Kadang lucu melihat mereka
membuntuti kemana kamu pergi. Kamu ke dapur mereka bergerombol di sekitarmu,
pindah ke ruang tamu, pindah pula mereka ke ruang tamu. Masuk ke kamar,
berbondong-bondong mereka ke kamar. Sampai ada anak yang selalu memegang-megang
bajumu dan kamu berkomentar, ”Nih anak kayak prangko aja, nempeeel terus”. Jangan salahkan mereka, akupun memiliki perasaan yang sama
dengan mereka.
Kadang jika cintaku meluap aku berkata padamu, ”Bener nih
kamu ndak nyantet aku? Aku kok bisa tergila-gila begini sama kamu?” Kamu
tersenyum dan berkata, ”Cinta Ummi ke Abi lebih besar dari cinta Abi ke
Ummi, Abi aja yang ndak tahu.” Rasululloh bersabda, ”Nikahilah
perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya
aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada
hari kiamat” [HR. Ahmad].
Sungguh aku merasa telah mendapatkan segalanya dengan kau di
sisiku.
Kepribadianmu yang mudah bergaul menjadikanmu
disenangi oleh banyak orang. Kamal berkata, “Ummi terkenal banget di sekolah. Aku, Mba
Aisyah, Mas Nashih, Hamidah, Hilma ini terkenal di sekolah karena anak Ummi.
Guru-guru kenal kami karena kami anak ummi”. Aku ingat perjuanganmu menggalang beberapa orang tua murid ke
kantor diknas untuk meminta tambahan kelas agar anak kita yang terlalu muda
bisa diterima sekolah. Akhirnya SDN 006 Balikpapan mendapat tambahan kelas dan
anak kita bisa bersekolah di sana. Seharusnya aku yang melakukan hal itu, bukan
kamu.
Aku terpesona dengan caramu menjalin silaturahim
dengan keluarga besarmu. Ketika kita pindah ke Balikpapan, sering kakak-kakakmu
menelpon menanyakan kapan liburan ke Samarinda. Mereka rindu kepadamu. Kakakmu
KH. Fachrudin, seringkali menelpon, ”Kita mau ngadain acara ini, kamu ke Samarinda
kah?” Sya’rani, kakakmu yang sering bepergian ke Jawa, ketika mendarat
di Balikpapan pun sering berkata, ”Baru dari Jawa, mau ikut saya sekalian naik
mobil ke Samarinda?” Keponakan-keponakanmu
pun sering bertanya, “Acil Robiah kapan ke Samarinda”. Jika kita liburan ke Samarinda, maka kemeriahan meledak begitu
mendengar suaramu mengucapkan salam.“Wah, Haji
Robiah dari Balikpapan”.
Aku
kagum dengan semangatmu melaksanakan amanah dakwahmu. Sering kerinduanmu kepada
keluargamu tertahan karena ada amanah dakwah yang harus kamu kerjakan. ”Sebenarnya akhir pekan ini
keluarga besar kumpul. Ada acara keluarga. Tapi ada halaqoh ini dan majelis
talim ini jadi ndak bisa ke Samarinda”. Semoga Allah SWT
memasukkanmu ke dalam barisan orang-orang yang berjuang menegakkan agama ini.
............................................................................................................
Comments