Sambil berlari ke teras fakultas,
aku teringat dengan satu sosok yang selalu mengkhawatirkanku saat hujan datang.
Ayah. Belum sampai saya mengingat peristiwa tentang hujan dan ayah, dari
belakang pundak saya ditepuk oleh salah satu teman.
“Hi,Melodi!”
Sambil masih berlari kecil, saya
menengok ke samping karena orang yang menepuk pundak saya sudah bersisian di
sebelah kanan.
“ah, hai me-chan” ternayata dia teman
sekelasku me-chan, gadis Jepang yang sudah lama tinggal di Melbourne dan orang
tua Jepangnya fasih berbahas Indonesia sekaligus mengajarkan me-chan bahasa
Indonesia selain sebagai dosen di kampus yang sama namun dengan jurusan yang
berbeda tentunya.
Kamipun berlari kecil bersama
untuk mencapai teras fakultas yang terlihat hangat dan teduh di depan sana.
“Akhirnya sampai juga,
Alhamdulillah” ujarku ketika menginjakkan kaki di teras fakultas yang ternyata
juga ramai dengan beberapa mahasiswa yang berteduh.
“mari kita masuk melodi” sahut
me-chan mengaburkan lamunanku yang sebenarnya sambil mencari orang yang berjanji
akan membawakanku buku yang lama ingin kubaca.
“eh, iya me-chan, kamu duluan
saja ya, aku nunggu mas abimanyu, katanya mau minjemin buku yang dari lama
pengen dibaca. Katanya dia bakalan ke teras fakultas ini sekitar jam segini.”
“Yakin nunggu di sini? Kamu lumayan
basah, dan di sini cukup crowded, mending
kita ke aula saja, tunggu di selasar yang agak hangat.”
Bener juga me-chan, aku perlu
tempat buah membuat suhu badan kembali normal dari hujan yang lumayan membuat
kaos kaki basah, ujung rok yang juga basah, dan sebagaian kerudung peachku
terkena air hujan.
“Oke deh!” tinggal menghubungi
mas Abimanyu dan memintanya untuk ngasih buku di aula pikirku saat itu.
Oke well, Mas Abimanyu ini sudah
kuanggap sebagai kakak di sini, selain karena nggak punya kakak beneran. Dia yang
mengantarkanku di tempat tinggal yang lumayan nyaman bagi seorang muslimah
perantauan di sini. Aku sebenarnya dulu mendapat kontak mas Abimanyu dari Lila,
temen kampus di Indonesia, yang punya keluarga di Melbourne. Jadilah mulai dari
tempat tinggal awal aku ditampung dulu di rumah keluarga mas Abimanyu yang
ternyata sudah sekitar 25 tahun tinggal di sini.
Keluarganyapun sebenernya
cukup rame, tapi yang usianya sepantaran denganku cuma mas Abimanyu. Ada kakaknya,
kak rita, sudah berkeluarga dan tinggal di Australia Selatan, Adelaide bersama
suami dan anaknya. Ada Cika, gadis mungil yang sekarang duduk di high school. Ada
Dito, bocah imut yang masih di junior high school. Tante Ratna dan Om Bhisma sangat baik
menerimaku di awal-awal pindahan. Dan akhirnya aku dicarikan flat yang lebih
deket dari kampus dan biaya yang masih bisa dijangkau. Di sana aku juga tidak
tinggal sendirian, Tante Ratna dan Om Bhisma bisa dibilang orang tua kami
semua, mahasiswa Indonesia yang tinggal di Melbourne. Jadi kami dicarikan
tempat yang lumayan kondusif untuk ukuran muslimah. Bersyukurlah saya bisa
mengenal keluarga ini.
Di aula, sambil mengeringkan
ujung rok dan menukar kaos kaki dengan
kaos kaki cadangan yang selalu kusiapkan, terlihat rintik hujan yang masih
rapat dari kaca besar yang tepat ada di samping kami duduk. Ayah dan hujan,
entah bagaimana aku mendefinisikannya. Kembali pada lamunan awalku, tentang
Ayah dan hujan. Aku rindu padanya saat hujan, ah sebenarnya aku selalu
merindukannya dalam kondisi apapun, tapi hujan seolah menjadi pelengkap dari segala
kerinduan yang aku miliki. Kerinduan pada sosok yang selama 22 tahun menjadi
satu-satunya laki-laki yang akan selalu kebingungan saat hujan dan aku tidak
ada di rumah. Orang yang akan selalu menjadikan bahunya sebagai tameng bagi
gadis kecilnya saat hujan datang, orang yang akan selalu mencari telepon dan
menghubungi putrinya saat hujan dan putrinya tidak ada di rumah. Yah ayah,
melodi akan selalu merindukan Ayah seperti bumi yang selalu merindukan hujan.
(bersambung)
Comments