Pojok ruang UGD Rumah Sakit. Ranjang beroda ada di depanku, kosong tanpa penghuni, di sampingnya kamar mandi bersama yang digunakan oleh seluruh pasien ruang UGD. Duduk di lantai, tanpa alas,tanpa kursi. Kursi sudah dipakai semua dan alas tidak boleh digelar, karena ini bukan kamar permanen pasien. “Selamat datang kembali!” seolah pintu depan rumah sakit menyambutku kembali.
Terakhir kali menginap di rumah
sakit sekitar beberapa bulan lalu. Sampai di rumah sakit tengah malam, di kota
yang tidak begitu familiar, nggak ada
persiapan, nggak ngerti tentang keringanan biaya yang ternyata cukup
membingungkan bagi rakyat. Walhasil beberapa orang yang mengantarkan salah satu
teman kami yang kecelakaan rapat dadakan di selasar rumah sakit. Selasar yang
sudah beralih fungsi dari tempat lalu lalang orang di siang menjadi ruang tidur
bagi yang menunggu saudara, teman, rekannya yang sedang dirawat di bangsal. Dan
pada akhirnya diputuskan kita tidak langsung pulang di tengah malam itu. Jam tidur
saya udah lewat banyak, secara biasanya saya tidur jam 21.00, sedangkan pada
saat itu udah lewat tengah malam dan saya masih melek. Mau lanjut melek sampai
pagi nggak mungkin juga karena mata rasanya sudah menuntut untuk dipejamkan, mau
tidur juga bingung rebahan di mana. Pada akhirnya saya dan salah satu teman
putri mencari tempat yang aman sentosa di sekitar rumah sakit. Udah kayak film
horor aja tuh nyari tempat buat rebahan di tengah malam yang sepi, sunyi,
sendiri di rumah sakit.
Singgg... setelah rada
muter-muter nyari tempat yang aman damai sentosa, pilahan kami jatuh di deretan
kursi ruang tunggu suatu poli. Nggak ada orang sama sekali, kursi panjang khas
ruang tunggunya banyak. Pas kan? Kurang apa lagi coba buat kami yang matanya
tinggal 5 watt? Barisan paling belakang jadi pilihan, karena kalo di depan pasti
kelihatan sama orang lewat (kalo pas ada yang lewat). Yang penting bisa
ngelurusin punggung pikir kami kala itu. Setelah beberapa menit mencoba menutup
mata, belum bisa tidur juga, bukan karena kursinya nggak empuk atau nggak ada
bantal, tapi khawatir ada orang lewat. Nggak tau ya, padahal juga nggak ada
larangan buat tidur disitu. Dipaksa-paksa tetep rasanya nggak kayak tidur, dan
adzan subuh sudah terdengar. Bangunlah kami dan shalat subuh di mushalla rumah
sakit. Malam yang akan jadi kenangan kali ya.
Beda lagi kisah saya dengan rumah
sakit sekitar beberapa tahun silam, saat bapak di rumah sakit berbulan-bulan. Rumah
udah pindah aja ke rumah sakit, semua hal dilakukan di rumah sakit. Pulang dari
Surabaya langsung tancap ke rumah sakit, nggak pulang ke rumah. Mandi di rumah
sakit, makan di rumah sakit, tidur di rumah sakit. Kayak sewa kamar kos buat
keluarga. Mau beli apa-apa di toko depan rumah sakit, makanan di depan juga
alhamdulillah tersedia, di pojok lobi ada penjual teh poci yang biasa jadi
favorit kalo lagi pengen nge-teh.
Beda rumah sakit beda cerita,
karena bapak juga sempat dirawat cukup lama di Malang, saya juga sempat tinggal
di sana beberapa lama. Bedanya rumah sakit yang di Malang lebih bergaya klasik,
dari arsitektur bangunannya. Punya taman yang luaaaasss tepat di depan kamar
bapak,jadi bisa langsung keluar ruangan sambil duduk-duduk di tepi taman dengan
pohon yang besar di atas kita plus rumput hijau di depan mata. Beda dengan
taman yang ada di sebelahnya lagi, ada hewan peliharaannya juga. Serasa nggak
di rumah sakit. Dan kalau di Malang, pas saya pengen jalan-jalan keluar, yang
saya lakukan adalah naik angkot, turun di suatu tempat, dan balik lagi naik
angkot.
Siapapun yang ada di sini, sedang
saki, menunggu orang terdekat, atau menajalankan tugas semoga selalu diberi kesabaran. Karena saya belajar banyak
hal di sini. Pelayanan, kekuatan, kesabaran, dan keikhlasan.
Comments