Selain blogging, saya juga suka blog walking. Menemukan
cerita, hikmah, pengalaman dan pembelajaran gratisan dari berbagai orang di
penjuru dunia itu menyenangkan. Pagi ini sambil nungguin bahan yang lagi
diprint, sy blogwalking dah. Nggak jauh2, buka webnya Travel Blogger Indonesia.
Nemu salah satu blog traveler, artikel pertama yang saya baca adalah Dibalik Sepotong Uncle Ice Cream di Singapura. Ternyata bukan review tentang kuliner
yang saya dapatkan, tapi perenungan tentang kehidupan *ceileee. Di artikel
tersebut penulis menuliskan pengamatannya, berikut saya cuplikkan tulisannya:
Tiba-tiba Uncle mengeluarkan semua uang yang ada di kotak kecil dan menghitungnya bersama Auntie. Saya masih terdiam mengamati mereka. Lelehan es krim yang mencair mulai mengalir di jari, tak lagi saya hiraukan. Entah mengapa mata saya terus tertuju kesana. Seolah terhipnotis.
Mereka pun asyik menghitung uang berdua. Lembar demi lembar mereka rapikan. Recehan koin mereka sisihkan. Setelah selesai, mereka pun kompak bertatapan. Ada pancaran kecewa dari mata mereka. Namun, beberapa detik kemudian, mereka saling berpegangan tangan, seolah saling menguatkann.
Saya tercekat…
Entah apa sebenarnya yang mereka berdua rasakan. Tapi saya begitu terharu melihat apa yang baru saja terjadi. Berjualan es krim mungkin adalah cara mereka berjuang mempertahankan hidup di negeri kapitalis ini.
Kisah sederhana yang mungkin bisa terjadi dimana saja dan
kapan saja seta diamati oleh siapa saja bukan? Sama halnya ketika kita melihat
negeri kita sendiri. Kapan lalu saat sempat ke Jogja, beberapa kali di jalan menjumpai
seorang nenek atau kakek yang sudah sepuh masih berjualan. Dan ternyata saat di
Tamansari saya berjumpa juga dengan seorang kakek yang telah hidup dari zaman
penjajahan dan sampai kini masih berjualan es juga. Dilihat dari kondisi
fisiknya mungkin ‘menyedihkan’ bagi yang melihatnya, namun dari caranya
menyampaikan kehidupannya seperti lebih bahagia dari orang-orang dengan
kekayaan yang berlimpah. #sotoyguwe,kayak pernah ngobrol sama orang yang punya
kekayaan berlimpah aja.
Ini lanjutin tulisan si penulis:
Saya kemudian tersadar. Betapa timpangnya kondisi ini. Disaat
Uncle & Auntie berjuang mengumpulkan recehan demi bertahan hidup, di
sekitar mereka orang-orang sedang menghambur-hamburkan uang berbelanja aneka
produk ternama dunia yang harganya tiada tara. Seolah orang-orang ini bangga
kalau keluar dari mall dengan menenteng begitu banyak tas jinjing hasil
belanjaan.
Ketimpangan mungkin akan terus ada, namun sudah sepantasnya
kita memiliki usaha untuk meminimalisir ketimpangan yang sangat jauh dengan
memberikan solusi bukan?
Dan satu hal yang saya banggakan dari mereka (penjual dalam
skala kecil ) baik masih muda ataupun sudah sepuh adalah mereka menjadi BOS
bagi diri mereka sendiri. Menghasilkan karya kemudian dijual, membiayai
kehidupan tanpa menunggu gaji dari sebuah institusi atau lembaga.
Comments