"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdaarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS Al-Jathiya:23)
Menjelang maghrib,
setelah pulang dari agenda pekanan, saya mengecek HP yang emang sedari tadi sengaja ditinggal di rumah. Sambil ngelurusin punggung, saya mulai membaca
pesan di whatsapp. Salah satu grup meninggalkan percakapan yang sangat banyak,
nggak biasanya jam-jam ini banyak hal yang diobrolin. Saya buka pesannya,
ternyata berita kematian (lagi) setelah sehari sebelumnya kami juga mendapat
berita kematian dari teman seperjuangan.
Namun kali ini
berbeda, bukan orang tua dari si fulan yang meninggal atau orang terdekatnya si
fulan yang meninggal. Tetapi adek kami di kepengurusan JMMI meninggal. Rasanya hampir-hampir
tidak percaya sambil terus mengikuti pesan di grup. Dan memang benar, beliau
telah meninggal kemarin, semoga dengan akhir yang baik. Aamiin.
Kembali diingatkan
dengan kematian, namun entah mengapa untuk yang kali ini terasa sangat begitu
dekat dan nyata. Karena kematian memang tidak memandang usia, tidak memandang
sudah layak atau belum kita untuk menghadap Rabb, tidak memandang apa saja yang
sudah kita lakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kematian tidak
menghitung berapa gaji yang kamu punya, kematian tidak pula menghitung berapa
negara atau wilayah yang sudah kita datangi. Kematian akan terus menjadi misteri yang tidak
mungkin dihindari oleh siapapun itu. Sudahkah bekal kita cukup untuk menuju perjalanan abadi?
Tapi masih saja saya
selama ini sering lupa atau malah tidak mau tahu dengan adanya kematian? Seolah
hikmah kematian hanyalah didapat saat orang-orang terdekat kita meninggal tanpa
ada suatu bekas mendalam bahwa kita juga akan berada dalam posisi tersebut. Allah
selalu memiliki cara untuk terus mengingatkan hambaNya, salah satunya adalah
dengan kematian adek yang saya sayangi ini. Yang bahkan belum sempat saya
mengunjunginya pasca pernikahan dengan adek saya yang satu lagi. Yang bahkan
belum sempat saya menggenggam tangannya lagi sambil mendoakannya. Masih teringat wajah manis dan tutur kata yang lemah lembut dari bibirnya.
Kembali memandang
wajah diri yang masih sangat ‘berdebu’, melihat kerak debu yang lama tidak
dibersihkan, membiarkannya terus di sana dengan segudang alasan. Masihkah tidak mengambil pelajaran? Masihkah
enggan untuk sekedar menyekanya kembali? Semoga Allah membimbing kita untuk
senantiasa mempersiapkan akhir yang baik untuk menghadapNya.
Comments