Lagi dan lagi memilih duduk tanpa atap- bagian depan perahu-berkawan
dengan terik matahari yang kini benar-benar di atas ubun-ubun. Sambil sesekali
memejamkan mata dan kembali menghidupkan indra yang lain.
Meski masih di bawah perlindungan
kain pantai yang berubah fungsi jadi penahan panas dan meski kata bocah-bocah
kelas bunga saya dan niken mirip pengungsi dengan kain pantai di kepala, tetap
saja ngeyel di depan karena ‘merasa’ lebih dekat dengan lau dan tanpa
penghalang di depan kita. Tapi ternyata oh ternyata perjalanan pulang memakan
waktu yang lebih lambat, konon karena arus
yang lebih kenceng dari berangkatnya tadi.
yang lebih kenceng dari berangkatnya tadi.
Sampai di dermaga tanjung lor,
kami sudah disambut oleh pak imam lagi. Sebenernya kita diminta bersih diri
gantian di salah satu rumah deket dermaga, tapi karena kamar mandinya cuman ada
sebiji dan waktu yang mepet, kita putusin buat nyari kamar mandi di SPBU atau
masjid sambil jalan ke lokasi berikutnya. Tapi malangnya ina dan supri yang udah
terlanjur mau bersih diri di kamar mandi jadi dicepet-cepetin. Hehe.
Buru-buru kami masuk ke elf dan
tentu saja masih dalam kondisi mamel karena abis nyemplung di laut. Dan apalah
yang kami rencanakan? Pembagian waktu mandi yang efektif dan efisien. Karena
emang sehari sebelumnya kita rada lelet saking bahagianya ketemu air tawar
bersih .. *maklum habis nggak mandi hampir dua hari #eh. Selain pembahasan waktu mandi yang efektif,
pembahasan kami juga berlabuh pada... eng ing eng regulasi migas #eaaa.
Pak imam mulai merapatkan elf ke
salah satu sudut SPBU dan yak kami berhambur untuk ke kamar mandi. Dan memang
kekuatan iming-iming lokasi berikutnya sukses bikin kita cepet mandinya, hoho.
Abis semua mandi dan sholat, langsung kita lanjutkan obrolan random tentang
berbagai hal sambil menanti ‘kejutan’ berikutnya. Sekitar 45 menit perjalanan
akhirnya perlahan laut kembali nampak, garis pantainya membujur dan kami masih
belum berhenti juga. Mulai terlihat nuansa berbeda, toko souvenir berderet,
wisatawan lokal maupun asing berseliweran, homestay maupun restauran mulai
nampak juga. Dan akhirnya pak imam menghentikan elfnya di salah satu lahan
parkir.
Tanjung Aan |
Karena khawatir perahu yang akan
mengantar kita nggak ada, langsung deh fajar ‘menggiring’ kita ke bibir pantai
dan kembali mengarungi laut kembali untuk sampai ke Batu Payung. Nah, pantai
yang satu ini beda, pasirnya sih lebih tepatnya yang berbeda. Teksturnya lebih
besar dari pasir biasanya, namanya pasir merica di Tanjung Aan Lombok Tengah
bagian selatan. Hati-hati kaki kita bisa ‘ambles’ karena teksturnya yang tidak
padat. Jadi lebih baik alas kaki dilepas aja sih karena ngebersihinnya juga
bakalan rada susah.
Dan kembali melaut!
Comments