Mungkin saya baru menyadari jika
mulai mencintainya dalam kurun waktu dua tahun lalu. Saat bersapa lewat diam. Saat
letih mulai terasa dengan segala keriuhan yang hilang tenggelam oleh keheningan
yang saya ciptakan sendiri. Sambil menatap langit biru di atas dan tentunya
menghirup dalam-dalam aroma yang mulai saya
cintai. Tiduran di atas perahu yang sebenarnya diam di tempat ternyata bukan
menjadi ide yang buruk, karena matahari juga sudah mulai condong ke barat tak
lagi tepat di atas kepala. Dari sanalah sepertinya rasa itu mulai menyemai. Saya
mencintai laut.
Sampai akhirnya saya diberi
kesempatan untuk berjumpa kembali dengannya dua bulan lalu. Dengan frekuensi
pertemuan yang lebih rapat dan jangkauan yang lebih luas. Mungkin memang benar
airnya perih jika terkena mata, bahkan mual jika tanpa sengaja terminum saat
menyelaminya. Tapi bagi saya perih dan mualnya tidak sebanding dengan ikatan
yang ditimbulkan saat sudah menceburkan diri ke laut. Ikatan yang masih sulit
untuk didefinisikan.
Dunia yang berbeda? Pastinya. Karena
terbiasa bernafas bebas dengan udara yang diberiNya secara cuma-cuma di daratan,
maka saat mulai membenamkan kepala dalam permukaan laut tentunya akan terasa
pula dunia berbeda itu. Saat bernafas bebas tak lagi didapat, karena hidungpun
tertutup digantikan dengan mulut yang menggigit erat ujung snorkel sedang ujung
yang lainnya menjadi jalan udara keluar masuk di permukaan. Dan mulailah
merasakan misteriusnya laut. Tanpa perbincangan apapun yang terjadi, hanya ada
air dan kehidupannya yang tentunya berbeda total dengan kehidupan di atas
permukaannya. Terumbu karang yang
terkadang terlihat sendu karena beberapa bagiannya keropos atau patah, namun
ada pula tunas baru yang terkadang sengaja dibiakkan demi keseimbangan alam. Ikan
yang jarang terlihat sendirian alias sering berkelompok dalam petualangan kecil
mereka entah mencari makan atau aktifitas rutin lainnya.
Dan ketika kembali ke
permukaannya sambil memandang di sekeliling yang penuh air, air dan air hanya ada
rasa lega mensyukuri semua hal tersebut. Meski kadang harus berjalan perlahan
di atas perahu yang terombang-ambing ombak, tapi tak mengapa jika birunya laut
dan cerahnya langit masih menggantung di pelupuk mata. Segala aktifitas serasa
melambat bersama dengan ketidakadaan kehidupan lain selain deru mesin perahu. Kemudian
seperti yang sudah-sudah, cukup mengheningkan diri sambil menyingkir sejenak
dari obrolan, mata terpejam dan mengatur napas dengan sedalam-dalamnya. Hiduplah
indera kita yang lain dalam memahami laut dan perlahan mencintainya.
Comments