Percakapan di loby kantor saat
siang hari jelang pulang kerja (fyi saat ini saya bekerja cuman sampe siang,
hehe) bersama salah satu rekan kantor sambil nunggu penomoran surat.
Saya (S): Eh fulan (sebut saja begitu karena tidak
mencantumkan nama sebenarnya, hehe) yang di foto pre wed itu beneran kamu sama
pa*c*r kamu? (jadi ceritanya temen yg saya ajak ngobrol ini mau menikah dan
melakukan foto pre wed yg katanya lagi kekinian itu -.-“). Bukannya biasanya
pake kerudung ya? (karena udah biasa ngeliat postingannya di socmed)
Fulan (F): Iya mbak, hari-hari
biasa sih pake kerudung, tapi pas foto pre wed kemarin nggak pake karena
diminta ayahnya begitu. Nanti pas acara menikah juga pake sanggul jawa biasa.
S: *gleekk (agak kaget dan
prihatin). Kenapa ayahnya nggak ngebolehin pake kerudung pas pre wed sama pas
menikah nanti? (jiwa detektif bin kepo saya muncul)
F: ya gitu mbak, kejawen gitulah.
Tapi nanti pas hari biasa ya pake kerudung.
S: Pas sudah menikah sama kamu,
dia tetep kamu izinin pake kerudung kan?
F: ya iya mbak
S: Alhamdulillah, baguslah.
Mungkin karena sudah usia ya jadi masih pake kepercayaan2 kejawen gitu.
*prihatin
F: ya, yang kejawen gitu sih
nggak cuman yang udah tua aja sih mbak, aku juga masih agak kejawen.
S: ha? (2015 ini men)
Dan akhirnya sedikit mengobrollah
kita tentang kejawen-kejawen atau tradisi/ kepercayaan nenek moyang tersebut
yang mungkin sudah sangat lekat dengan kehidupan sehari-hari kita. Tapi yang
masih nggak habis pikir bagi saya adalah di zaman 2015, yang semuanya sudah
serba smartphone, masih ada yang percaya dengan hal seperti itu. Disitu, kadang
saya sedih. Tapi pada kenyataannya dan prakteknya memang masih banyak terjadi.
Mulailah teman saya bercerita tentang contoh-contoh kepercayaan kejawen yang
masih biasa digunakan. Seperti ‘menghitung hari’, eitss tapi ini bukan lagunya
KD lho #eh. Tapi ngitung ‘tanggal baik’ lewat weton masing-masing mempelai,
weton orang tua, besan dll. Dan dihasilkanlah rumusan ‘tanggal baik’ beserta
aksesorisnya, macam jam akad nikah, arah akad nikah dll.
Mendengar hal tersebut saya hanya
bisa ternganga-nganga. Dan mulailah saya melancarkan aksi innocent saya.
S : Bukannya di Al-Qur’an nggak
ada ya yang begituan? *bertanya pilon
F: iya mbak emang nggak ada, tapi
memang di kejawen itu ada kitabnya sendiri.
S: Lha? Kitab apaan? Yang bikin
siapa?
F: Ya kitab kejawen gitu, yang
bikin saya sendiri juga nggak tahu sih.
S: Eh
Nah lo, percaya pada kitab yang
bahkan tidak tahu penulisnya siapa dan bahkan tidak berlandaskan pada Al-Qur’an
ataupun hadits. Kembali ternganga-ngangalah saya. :O
Percakapan belum usai, masih ada
permisalan yang lain. Misal nih anak pertama nggak boleh menikah ama anak
ketiga, atau weton ini nggak cocok ama weton ono, kalo tetep dilanggar bakalan
ada musibah yang akan mendera. Astaghfirullah #pengen nangis T.T, masih banyak
ternyata yang percaya begituan. Padahal ya sehari-harinya Islam.
Begitu mahalnya kalimat syahadat
yang nampaknya hanya sebuah ucapan tanpa disertai pengakuan dan kepercayaan
terhadap konsekuensi apa yang seharusnya dilakukan ketika seseorang telah
bersyahadat. Saya menulis ini bukan untuk menjudge orang yang percaya hal-hal
tersebut lebih buruk dari saya, karena Allah yang Maha Mengetahui derajat
makhlukNya dari ketakwaan padaNya. Saya hanya menulis kekhawatiran saya
terhadap masih adanya kepercayaan tersebut padahal bersyahadat juga.
Mungkin saat masih bersekolah
kita juga sudah berulang kali dijelaskan tentang syahadat, tentang pintu
gerbang dalam masuk Islam, rukun islam yang pertama, yang diyakini dengan hati
diucapkan lewat perkataan dan diamalkan melalui perbuatan. Hingga harusnya
makna syahadat itu tadi yang sudah mendarah daging dalam kehidupan sehari-hari
kita. Merasuk kedalam jiwa kita bahwa tidak ada dzat yang patut disembah selain
Allah SWT. Meyakini dengan penuh ikhlas bahwa Allah lah satu-satunya tempat
meminta, bergantung dan berharap. Bukan pada tradisi atau kepercayaan yang bisa
jadi menjadikan kita makhlukNya yang tidak diampuni dosanya oleh Allah SWT.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu)
dengan Dia dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa saja
yang dikehendakiNya. Siapa saja yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah,
sungguh ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (QS An-Nisa:116)
Syereeemmm nggak tuh T.T
Dan ketika takut ‘melanggar’ apa
yang menjadi pantangan dari tradisi tersebut, percayalah bahwa hanya Allah yang
menentukan segala hal pada makhlukNya. Entah itu rezeki, jodoh, kematian,
musibah, anugrah dll.
“Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin
Allah; dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi
petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS
At-Tagabun:11)
Bakalan panjang memang kalau
hanya satu bahasan ya. Sayapun hanya mencantumkan satu contoh, masih banyak hal
lain di luar sana yang bisa mengikis ketauhidan kita. Maka intinya memang
tauhid inilah yang menjadi dasar atau pondasi kita dalam beragama. Karena pada
siapa lagi kita percaya setelah bersyahadat kalau tidak pada Allah SWT dan
ketentuanNya yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits? Semoga Allah senantiasa
memberikan petunjuk agar berada di jalan yang lurus, diberi cahaya untuk bisa
terus bersamaNya, dan menjadikanNya satu-satunya dzat yang patut disembah.
Comments