'Cuma' Ibu Rumah Tangga



Ibu rumah tangga, hmmm... gimana coba kalo jadi ibu rumah tangga?kuliah empat tahun dan hanya diam saja di rumah? Benarkah ibu rumah tangga diam saja di rumah? Hoho... jangan khawatir mbak2, meskipun saya belum menjadi ibu tapi beberapa cerita dan petuah dari kanan-kiri depan belakang sempet nemplok ke saya. Sempat suatu ketika sedang mengobrol dengan salah satu aktivis kampus dan kebetulan dia, laki-laki, dan tanpa sengaja berkata “cuma ibu rumah tangga”. Wow.. langsung dah tuh saya bereaksi, “Cuma ibu rumah tangga?” dengan nada bertanya. “Emm...bla..bla..bla” yah, saya tepatnya juga sudah lupa dia menanggapi apa. hoho. Intinya apakah benar ibu rumah tangga itu ‘cuma’?

Well, kapan hari sempat mengobrol dengan salah satu ibu yang punya segudang aktivitas namun masih bangga dengan sebutan ‘ibu rumah tangga’. Saya masih ingat kala itu sedang berdiskusi tentang sekolah muslimah, yang bertujuan mempersiapkan muslimah untuk ‘siap’ menjalani berbagai perannya pasca kampus. Dan tibalah topik pemenuhan keuangan bagi muslimah. Ya, dan sang ibu pun menjelaskan kepada saya, “Seorang muslimah tidak berkewajiban untuk mencari nafkah, ketika belum menikah maka akan menjadi tanggung jawab orang tuanya dan ketika sudah menikah akan menjadi tanggung jawab suaminya”. “Bekerja bagi perempuan adalah mengaktulaisasikan dirinya, untuk berkontribusi pada masyarakat” lanjut beliau. Hmm.. bukan orientasi uang semata sodara-sodara.

Dan saya menemukan artikel ini di salah satu link FB senior saya, selamat membaca:
Tadi malam, dua jam lebih saya berdiskusi dengan istri tentang eksistensi seorang istri. Ternyata banyak wanita yang galau. Mereka ingin eksis, tetapi bingung. Ingin bisnis, takut. Ingin mengejar karir, waktunya tidak seleluasa para pria. Ingin fokus mendidik anak, tetapi kemudian merasa ilmu yang didapat saat kuliah sia-sia.
Banyak wanita yang salah persepsi, mengira eksistensi istri itu dilihat dari penghasilan yang mereka dapatkan. Salah kaprah ini menjadikan tugas tambahan untuk seorang istri menjadi semakin berat. Hal ini terkadang diperparah dengan suami yang sering “memalak” penghasilan istri.
Sebenarnya tugas utama istri itu begitu berat dan mulia. Apa itu? Mendukung suami menjadi lelaki yang hebat dalam karir atau bisnis sekaligus mendidik serta menyiapkan masa depan ana. Peran yang bisa dijalankannya begitu besar, ia manajer di rumah, pelatih, partner, konsultan dan pengayom bagi anggota keluarganya.
Apakah wanita tidak boleh bekerja atau berkarir? Tentu boleh, tetapi setelah tugas utamanya terselesaikan dengan sangat baik. Hal ini dibuktikan dengan karir atau bisnis suaminya berkembang pesat. Anak-anaknya secara pendidikan, mental, spiritual terus tumbuh dan memiliki karakter yang kuat.
Pendidikan berkarakter bagi anak bukan hanya ditentukan prestasi akademik di sekolah, hafal doa dan ayat-ayat pendek dari Kitab Suci, dan menjadi “anak baik” saat diajak bepergian. Tetapi lebih penting dari itu, sentuhan, perhatian dan transfer attitude serta suri tauladan yang bisa dirasakan, dilihat dan didengar seorang anak, terutama dari ibunya.
Dengan tugas yang begitu berat itu, seharusnyalah ia dihormati, dijaga, dimuliakan dan dibayar sangat mahal oleh suaminya. Ia tak harus lelah bekerja, berkarir atau berbisnis. Karena bekerja bukanlah tugas utama seorang istri, maka andai ia berpenghasilan sungguh wajar apabila suami tidak berhak satu rupiahpun atas penghasilan istri. Sang suamipun harus tahu diri dan memiliki rasa malu meminta penghasilan istrinya.
Dari hasil diskusi tadi malam kami berkesimpulan, agar tak galau memang istri perlu aktivitas tambahan. Aktivitas itu tidak harus selalu bekerja, berbisnis atau sesuatu yang menghasilkan uang. Seorang istri harus diberi kesempatan dan dukungan untuk bisa berbagi dan berkontribusi sesuai dengan passionnya agar ia merasa semakin eksis dan kahadirannya di dunia memiliki arti.
Saat istri saya sudah tidur, saya merenung dan berkata dalam hati, “Tugasmu begitu berat, mendukungku dan menemani anak-anak hingga bisa tumbuh seperti sekarang. Tetapi aku merasa penghargaanku kepadamu masih sangat kecil dibandingkan pengorbananmu. Maafkan aku istriku, ternyata aku bukan suami yang sempurna.” (http://www.jamilazzaini.com/aku-bukan-suami-yang-sempurna/)
Yup, belajar memaknai, bukan hanya melihat dari ‘pekerjaan formal’ seorang ibu, tapi bagaimana bisa memaknai setiap peran yang dijalankan. Jadi, apakah ibu rumah tangga itu ‘cuma’?


Comments

Dina Yuli Yanti said…
Tulisannya sangat bagus sis, saya jg sekarang sebagai ibu rumah tangga baru yang memutuskan resigned dr kantor sesaat sebelum menikah kemarin. Sekarang sedang cari2 kegiatan tambahan agar tidak jenuh juga.
Immash said…
terima kasih mbak dina. :)

semoga segera mendapat aktivitas dan bermanfaat bagi masyarakat.