Ritual Bonceng

“Ayo kak!!”Tangan-tangan kecil mereka mulai menarik tangan, baju jaketku...alhamdulillah bukan kaki yang ditarik.. ^_^. Mereka minta dibonceng, dan itulah cara yang mereka ambil, menarik-narik lengan dan baju kami untuk cepat-cepat ke parkiran motor. Apa sih istimewanya dibonceng naik motor?Padahal setelah dibonceng sampai tempat biasa, mereka harus berjalan memutar lagi untuk menuju rumah masing-masing. Aku belum mengerti sampai sekarang, entah..mungkin aku kurang peka dengan permintaan mereka.

Ritual “bonceng” hanya satu dari beberapa hal yang kutemukan di sana. Di tempat yang kugunakan untuk menghabiskan hari ahad siang sampai sore. Di tempat yang tak pernah terlintas di pikiranku untuk sekedar lewat apalagi berkunjung karena stigma yang sudah terpampang negatif tentang tempat tersebut. Sampai suatu ketika ditawarin teman satu kos untuk mengajar di sana. Tidak langsung menolak, namun tidak mengiyakan. Entah apa pula yang akhirnya membuatku mau. Yang jelas, aku sama sekali belum mengenal tempat tersebut sebelumnya.

Dan saat pertama dijelaskan tentang kondisi yang ada di sana, sedikit shock dan su’udzon dengan segala hal yang nanti mungkin akan ditemui di sana. Ditambah dengan cerita kondisi anak-anak yang akan kami temui, membuatku sempat berpikir untuk tiba-tiba menghilang dan gagal ke sana. :P

Setibanya di akses untuk menuju ke taman baca, mulai terlihat papan nama bertuliskan “wisma” dengan berbagai nama yang ditawarkan. Namun dengan motif yang sama, yaitu papan bir. “Glekk”, seketika itu pula aku menelan ludah karena tempat yang tersohor ini sudah ada di depan mata(lebih tepatnya di kanan kiri jalan). Namun, suasana yang ada mirip dengan deretan pertokoan yang menjual barang-barang biasa. Semakin ke dalam(dekat dengan taman baca), suara yang terdengar semakin gaduh, dentuman musik yang sama sekali tak kukenali.

Sampai di gang dimana taman baca berada, bayangan tentang “taman” langsung raib. Tempat yang kutuju ternyata sebuah rumah yang di samping kanan kiri depan belakang hampir semuanya bertuliskan wisma dan dilengkapi dengan dentuman musik yang sama dengan yang kudengar sebelum aku sampai di gang ini. Dengan ukuran ruang belajar yang mungkin hanya sebesar kamar kosku lebih sedikit, dua sisinya terdapat rak yang dipenuhi berbagai jenis buku, satu meja panjang, dan satu pintu yang merupakan akses keluar-masuk. Membuat kata “taman” langsung kukubur hidup-hidup.....to be continued..[imm-16112009]

Comments