Kuantitatif

“Perasaan ini tumbuh bukan karena apa-apa, tapi hanya karena dorongan rasa iman kepada Allah, RasulNya, dan kitabNya. Ini adalah iman yang tidak akan pudar sekalipun harus menghadapi kekuatan orang-orang zhalim. Ini adalah iman yang kuat, tentu akan mendatangkan keajaiban dalam keyakinan dan tindakan. Dengan iman seperti inilah orang-orang Muslim mampu menuliskan kehebatan dalam sejarah kehidupan manusia. “ Petikan tulisan Syaikh Shafiyyurahman al Mubarakfury dalam kisah sirah nabawiyah. Penggambaran dari kecintaan umat Rasulullah saat baiat aqabah kedua. Zaman dikala Islam tak seperti sekarang, meluas, banyak pengikutnya dan lain-lain. Namun, ada orang-orang yang begitu taat pada ajaran Rasul. Mereka tak memiliki rasa ketakutan, rendah diri, maupun malu untuk mengikuti ajarannya. Mereka mengikuti ajaran beliau bukan karena hartan bukan pula kekuasaan yang dijanjikan. Tapi karena kebenaran yang dibawa olehnya.

Lihatlah sekarang, ketika jabatan, kekuasaan, harta dan segala kenikmatan duniawi menjadi ukuran derajat manusia. Sesuatu hal yang bisa dihitung menjadi patokan yang tak disepakati diantara kita sendiri. Banyak hal yang tak bisa dikuantitatifkan namun harusnya bisa menjadi patokan. Tetapi tidak untuk saat ini, semua hal seolah dikaitkan dengan angka yang didepannya bertuliskan “Rp”. Membuat niat menjadi sekedar untuk mendapatkan beberapa digit angka tanpa merasakan segala kenikmatan yang tak bisa dihitung dengan nominal yang pernah kita ketahui.

Tapi tak semua orang tentunya menakar sesuatu karena nominal yang dimiliki, lihatlah mujahid batumarta yang pernah dikisahkan dalam catatan akhir pekan Adhian Husaini, ingatlah kembali tokoh Islam yang memperjuangkan Islam di awal kemerdekaan Indonesia ditandai dengan adanya piagam Jakarta yang kemudian terpaksa harus dihapuskan beberapa kata yang dianggap kaum nasrani sebagai ketidakadilan bagi pemeluk agama lain, atau berapa banyak orang yang syahid untuk terus melawan zionisme di tanah yang telah diberikan kepada Israel melalui perjanjian belfour oleh pihak barat. Tentunya kita masih memiliki orang-orang terpilih itu. Yang senantiasa menjunjung tinggi keimanan pada Allah, Rasul, serta kitabNya.

Lalu, masih ingatkah kita semua dengan perjuangan para syuhada di medan perang? Salah satunya perang salib, perang yang akan terus dikenang oleh berbagai kaum karena lamanya peperangan juga keterlibatan berbagai pihak di dalamnya. Salah seorang yang sulit bahkan tak akan dilupakan adalah Shalahuddin Al Ayyubi. Mungkinkah Shalahuddin berjuang sendirian di perang yang sedemikian besar dan dahsyat? Ternyata tidak. “Bangkitnya kaum Muslim dari keterpurukan ketika perang salib bukan kebangkitan seorang Shalahuddin, tetapi kebangkitan satu generasi Shalahuddin” (Adhian Husaini, 2009).

Namun jangan terlalu terlena dengan keberhasilan para pendahulu kita, karena seperti yang kita lihat dan amati bahkan alami, “kejahatan telah berhimpun dalam satu kekuatan internasional (kapitalis global, zionis, serta para pendukungnya)” (Palestina Emang Gue Pikirin, Shofwan Al Banna). Maka kita pun harus mempersiapkan segala yang kita miliki untuk menghadapi tantangan zaman yang siap menghalangi gerak dan langkah kita. Bersatu saudaraku. “Jama’ah adalah alat yang diberikan Islam bagi umatnya untuk menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, supaya kekuatan setiap orang shalih, orang hebat atau satu potensi bersatu padu dengan kekuatan saudaranya yang lain ” (Dari Gerakan ke Negara, Anis Matta).

Comments