Dua Jam Bersama Bu Rista


Di ruang kos yang hangat, meski tanpa penghangat ruangan. Berbeda dengan kondisi di salah satu daerah binaan, kejawan.

Sekitar dua jam aku menunggu hujan reda di depan sebuah warung yang sedang tutup. Ditemani hujan yang datang bersama angin tak hanya itu, bu rista yang kebetulan sedang berada di luar rumahnya juga menjadi teman setiaku. Mulailah obrolan kami mengenai kondisi Kejawan, meski tanpa agenda ataupun perencanaan, pembicaraan selama dua jam itu memberiku banyak masukan terkait pelayanan umat.

Bu Rista memulai dengan air hujan yang selalu membanjiri rumahnya saat hujan, pernah suatu kali saat angin kencang, atapnya ikut terbawa. “Saya takut di dalam rumah, dulu pernah atapnya terbang kena angin” ujarnya sambil menerawang kejadian kala itu. “Kalau di kos belakang, airnya ndak masuk dari rembesan atap, tapi dari lantai jadi sama aja banjir kalo hujan” beliau melanjutkan dengan kondisi tetangganya. Di tengah perbincangan, Bu Rista mengambil beberapa ember dan bak untuk menjadi tadah hujan, dari sananyalah beliau dapat menghemat pengeluaran pembelian “air dorong”, hal yang membuatku sangat bersyukur dengan kondisiku selama ini.

Sebelum akhirnya terjebak di tengah hujan, kami sempat berkunjung ke beberapa ibu-ibu, salah satunya adalah ibunya de’ Mamat. Suaminya telah meninggal, jadi beliau yang harus menghidupi Mamat kecil dengan menjadi kuli bangunan. Dan ternyata di sana pekerjaan kuli bangunan bagi seorang wanita adalah hal yang biasa. Karena ada beberapa ibu yang ternyata juga menjadi kuli bangunan.

Selang beberapa lama Ibu Diah datang, beliau adalah tetangga Bu Rista yang mengantarkan kami ke rumah salah satu binaan sebelum akhirnya kehujanan. Kami membicarakan “memulung”, mulai dari benda apa saja yang biasanya bisa dijual di pengepul hingga harga tiap kilo dari benda-benda tersebut. “Paku satu aja biasanya saya ambil” ujar bu diah. Ya, sampah apa saja yang bisa dijual di pengepul bisa menjadi kehidupan bagi mereka. Saat hujan, ada kegiatan tambahan bagi pemulung maupun penjaga pintu air. Mengangkat sampah dari sungai bagi penjaga pintu air dan memungut sampah bagi pemulung. Hal yang biasanya menjadi rebutan warga sekitar. Namun, sore itu ibu diah beruntung, karena hujan maka tak ada saingan untuk memilah beberapa sampah yang masih bisa dijual ke pengepul.

Beberapa saat kemudian, masih bersama kedua ibu tersebut, datang seorang penjual “es dawet” dan lontong mi. Rupanya, beliau adalah salah satu ibu dari adek-adek yang biasanya ikut les. Karena kebaikan hatinya, kami bertiga (Saya, bu diah, & bu rista) bisa menikmati es dawet dengan cuma-cuma. Meski di depan ada sampah yang lumayan menggunung ditambah air hujan yang membuat basah baju, rok, dan jaket, kami tetap menikmati es dawet ibunda Syahrul.

Sebuah pertemuan yang sudah direncanakanNya. Pertemuan singkat yang selalu membuatku bersyukur dengan segala kondisi yang kumiliki. Untuk selanjutnya, saya harap teman-teman meluangkan waktunya untuk sekedar ngobrol dengan binaan, karena dari sanalah kita akan menemukan solusi bersama bagi pelayanan umat.

Comments