Justin Biber, Ironi, dan Film Dokumenter

Bismillahirrohmanirrohim

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? (QS 55:55)

Hari Ahad, biasanya disebut hari kumpul keluarga. Seperti hari Ahad kemarin, saat kunjungan rutin ke rumah mbah uti dan mbah kung di desa yang tak jauh dari desaku. Hal yang sudah lama tak kulakukan, membaca bersama mbah kung di teras rumah. Hal yang mungkin bisa mengantarkanku pada ingatan masa kecil. Saat mbah kung menjadi percobaanku dalam merias rambut. Hal yang mungkin sekarang tak mungkin kulakukan (nda sopan rek, rambut mbah semakin menipis...).

Lalu keluarga bude-pun juga datang. Mbah yang memang senang nonton berita, tiba-tiba nyeletuk sambil bercanda, “dek, gak tumbas tiket konser artis luar negeri? Ternyata konser e isih sok april.”

Konser apa ya? Dalam hati aku bertanya-tanya, beberapa detik kemudian aku jadi ingat tentang ulasan di Metro TV tentang beberapa artis yang akan mengadakan konser di Indonesia pada tahun 2011. Mungkin yang disebutkan mbah kung itu konsernya Justin Biber (bener gak ini tulisannya). Sungguh ironis, pada saat yang sama kami sedang menonton “Jika Aku Menjadi” yang mengisahkan seorang kakek yang sehari-harinya berpenghasilan sekitar 10-15 ribu. Gimana nggak ironis, saat orang pada ngantri beli tiket konser seharga ratusan bahkan jutaan rupiah, disaat yang sama banyak orang yang berpenghasilan jauh di bawah harga tiket.

Jadi inget sama rencana bikin film dokumenter binaan. Kami bukan akan membuat perjalanan selama di pelayanan umat, tapi lebih mengenalkan binaan pada mahasiswa dan masyarakat. Bahwa ternyata di sekitar kampus perjuangan ini hidup orang-orang yang menginspirasi bagi kita. orang-orang yang senantiasa membuatku tak hentinya bersyukur atas segala yang diberikan Allah. Orang-orang yang membuatku sering berucap “subhanallah” atas pekerjaan “ tak biasa “ dan kesehariannya menjalani semua fase kehidupan.

Aku hanya ingin orang lain tau,

bahwa kita tidak perlu menunggu lulus untuk menyalurkan kemampuan kita dalam hidup bermasyarakat,

bahwa kita tak perlu menunggu IP cumlaude untuk mampu memberikan sedikit ilmu yang kita punya,

bahwa kita membutuhkan mereka sebagai “partner” yang mampu mengupgrade kehidupan,

bahwa rencanaNya sungguh indah untuk mempertemukanku dengan mereka,

bahwa tidak ada nikmat Allah yang tidak patut disyukuri.

Nb: kawan, ditunggu masukannya untuk film dokumenter dan juga (kalo bisa) peralatan yang dibutuhkan dalam pembuatannya.

[imm]

Comments