“Calon” Ibu


“TANPA TEMPAT DUDUK”, sebuah kalimat singkat yang tertera di selembar tiket kereta yang akan membawaku pulang. Itu pertanda saat yang tepat untuk segera berburu tempat duduk. Tentu gerbong makan menjadi satu-satunya tempat perburuan kala itu. Alhamdulillah, masih ada tempat tersisa bagi beberapa penumpang bernasib sama dengan saya.

Lagi-lagi saya harus menuliskannya, saya menyukai perjalanan. Meski dalam perjalanan biasanya saya hanya mengamati, membaca, dan berpikir. Perjalanan memberi ruang bagi saya untuk melihat lebih dekat dan mencerna dengan cermat. Saya suka perjalanan.

Kali ini saya tidak banyak menceritakan tentang perjalanan pulang saya, tetapi hal yang saya temui di pemberhentian akhir perjalanan . berjumpa dengan kedua orang tua. Dan percakapan antar satu keluarga kecilpun mewarnai perjumpaan kami.

“Sebentar lagi masuk semester tujuh ya?” ujar ibu.

“Bulan apa muali semester tujuh?”tambah beliau

“Agustus atau September gitu, lupa.” Jawab saya

“Cepet ya, tahun depan sudah wisuda berarti…”

“Amin…” teriakku dalam hati

“Terus, mau kerja dimana?” Tanya beliau lagi

“Glek” dan aku hanya bisa menelan ludah. Sambil menerawang silaturrahim kami (beberapa pengurus harian K2M) ke Kepala Departemen Keputrian JMMI pertama, Ibu Nani. Dipercakapan yang penuh nostalgia itu Bu Nani sempat menyatakan bahwa zaman telah banyak berubah. Karena tentunya setiap zaman memiliki dinamika dan warna masing-masing.

“Sekarang, orientasi dari mahasiswi setelah kuliah adalah bekerja mencari uang, jadi keterampilan sebagai seorang wanita sekaligus calon ibu sering terlupakan” Ujar beliau mencoba menganalisis kondisi zaman.

Sebuah kalimat yang membuat saya dan mungkin teman-teman disamping saya berpikir mengenai rencana tahun keempat dan pasca kampus.

“Dulu, ummahat-ummahat sudah biasa menitipkan putra-putrinya di kontrakan akhwat. Yang menjadi program keputrianpun juga mendukung keterampilan pasca kampus, seperti menjahit, menyulam, dll” Bu Nani menjelaskan.

Sayapun hanya bisa senyam-senyum sambil mengerling ke Kepala Departemen Keputrian 1112.

Zaman boleh berganti sesuai dengan harmonisasinya. Tetapi untuk hal yang satu ini, semoga kita tidak melupakan dan mengindari kodrat kita sebagai wanita. Masih ingat dengan kajian di Camplong tentang pandangan Islam terhadap wanita? Coba direview lagi, ada wanita sebagai manusia, wanita sebagi perempuan, wanita sebagai ibu, wanita sebagai seorang anak perempuan, dan wanita sebagai istri.

Persiapkan diri anti ukhti! Jangan sampai seperti yang dituliskan M. Fauzhil Adhim dalam bukunya “Positive Parenting”:

“Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut sebagai ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan”


sumber gambar:

http://1.bp.blogspot.com/_KUu_WdQC4Pc/TDyhHhvYErI/AAAAAAAAAUs/FOcTK0-iNoY/s1600/ummi.jpg

Comments