Ibu, Aku Menyanyangimu karena Allah[2]


Perlu diketahui, perawatan yang harus dijalani bapak tidak mudah menurutku, beliau harus rutin mengganti cairan yang ada di tubuhnya. Satu hari bisa 3-4 kali proses penggantian cairan melalui perut beliau yang telah tertempel selang hasil operasi beberapa waktu lalu. dan ibulah yang mengurus itu semua. Tiga sampai empat kali sehari beliau mengganti cairan di tubuh ayah dengan sabar dan telaten. Belum lagi kalau harus melakukan suntikan yang juga dilakukan secara rutin. Selama beberapa bulan, ibu izin dari tempatnya bekerja. Selama itulah beliau belajar menjadi perawat bagi ayah. Pelajaran yang kuyakin tak pernah beliau ambil di tempat kuliahnya dulu.

Sudah dua tahun dari operasi bapak waktu itu. kini, beliau tetap harus menjalani perawatan rutin dan kontrol secara bertahap di rumah sakit yang bisa dikatakan jauh dari rumah kami. Sekitar empat jam menggunakan mobil. Siapa yang selalu siap menemani bapak? Tentulah ibuku. Pun sekarang, ketika bapak kehilangan bobot badannya, ibu masih setia disampingnya. Sekarang, dimana bapak pergi ibu selalu mendampingi. Ibuku dengan kesetiaannya pada suami.

Setiap hari beliau tetap bekerja, karena memang ada sebuah amanah yang harus ditunaikan. Namun, ibu tetaplah ibu. Ketika di rumah, tak nampak sekalipun berkeluh tentang pekerjaannya. Ditambah pula harus mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga yang memang menjadi tanggung jawabnya. Bekerja di kantor, ibu rumah tangga, serta perawat pribadi bapak, itulah peran yang tengah dilakoni ibuku.

Terkadang, jika tubuh tak bisa diajak kompromi, kesehatannya berkurang, sedikit keluhan yang terucap. Namun ketika bapak memanggil untuk mengganti cairan atau sedekar memijit kakinya, ibu akan selalu siap sedia. Terkadang aku tak memperhatikan kelelahannya, masih saja aku menuntut beberapa hal ketika aku pulang. Tapi, beliau tetap mampu berperan menjadi ibu untukku.

Aku yakin, banyak ibu diluar sana yang mampu menginspirasi bagi anak maupun orang lain yang mengenalnya. Seperti kisah seorang ibu binaan yang kami kunjungi beberapa waktu lalu.
Seorang ibu bernama Ibu Wiji. Ibu yang setiap ahadnya selalu kelihatan paling ceria di antara ibu yang lain. Ibu yang biasanya membawa putra kecilnya, hatta, dalam dekap lantunan huruf hijaiyah. Pertama kami masuk, dengan sigap bu wiji merapikan ruang tamu yang beralaskan tikar dengan penerangan yang lumayan minim. Lalu aku mendengar dari bu kustiari, bahwa suami bu wiji sudah meninggal dan memiliki cukup banyak anak. Saat bu wiji kembali ke ruang tamu, ternyata beliau telah memesan teh hangat bagi kami yang berkunjung ke rumahnya.

Ibu yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sapu di daerah galaxy ini pun bertutur,”Saya senang sekali bisa dikunjungi kakak-kakak.”

Suatu hal yang sama sekali tak terbersit dalam pikirku, bahwa ibu-ibu ini juga butuh diperhatikan. Tak hanya dengan materi, namun juga hal-hal yang tak nampak. Dibalik keceriaan dan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya, ibu wiji telah mengajarkan kami ketulusan dan syukur yang tiada terkira pada Sang Maha segalanya. Bagaimana tidak, dengan kondisi rumah yang selalu banjir saat hujan tiba ditambah dengan tujuh anak yang harus dididiknya tanpa pendamping, bu wiji senantiasa melukis wajah bahagia di tiap kesempatan.

Comments