Jalan



15 Maret 2026

Saya memandang ke jalan yang akan menuju sebuah tempat penelitian yang dibangun pemerintah sekitar 7 tahun yang lalu. Jalanan ini sudah terlihat berbeda dengan kondisi terakhir ketika saya dan beberapa tetangga mencari tempat penghidupan baru. Tentu karena pembangunan tempat penelitian ini. Hal yang sudah kami perkirakan puluhan tahun lalu saat pertama kali datang ke kawasan ini yang tak layak dijadikan tempat tinggal. Karena kami harus “menguruk” daerah yang awalnya adalah sebuah rawa menjadi lahan yang siap huni. Ketika saya mengenangnya, seolah menyaksikan sinetron di televisi yangmenampilkan adegan demi adegan oleh para lakonnya.

10 Juni 2011

“Hatta, tahun ini harus mulai sekolah ya! ”, ujar saya

“Nda mau...”, jawab hatta sambil bermain mobil-mobilan.

Ya, anak bungsu saya, namanya Hatta, usianya sekarang lima tahun dan sudah saatnya dia bersekolah. Namun, minatnya minim untuk ke sekolah. Berbeda dengan ke enam kakaknya. Dia menjadi satu-satunya anak yang tidak bisa berada di bawah asuhan saya secara penuh. Karena sebelum saya harus bekerja, biasanya anak-anak berada di bawah pengawasan saya langsung. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Tetapi Allah menakdirkan lain.

15 Mei 2008

“Maaf bu, kami mengabarkan bahwa bapak terkena kecelakaan kerja, sekarang beliau berada di Rumah Sakit...” ujar seorang teman suamiku di tempat kerjanya.

Tak ada firasat apa-apa, selain kukira biasa jika terjadi pada pekerjaan yang dilakoninya, yaitu sebagai kuli bangunan. Sayapun bergegas untuk menuju rumah sakit yang disebutkan oleh rekan kerja suami. Sesampainya di sana, saya tak mendapati beliau tengah menanti sambil tersenyum karena kedatangan saya. Tetapi yang saya dapati adalah sebuah kamar yang di depan pintunya bertuliskan “Kamar Mayat ”, dan suami saya menempati salah satu tempat di ruang tersebut.

Seorang petugas menghampiriku dan berkata, “Ibu, suaminya tadi sudah dimandikan sekalian, sekarang siap untuk dikebumikan”.

Sontak saya terbangun dari pikiran-pikiran yang sejenak memenuhi ruang di otak, “iya pak, terimakasih.” Entah apa yang menguatkanku saat itu, yang ada hanyalah kepasrahan pada Sang Maha Kuasa.

Sesampainya di rumah, anak-anak ternyata sudah berkumpul, hatta yang masih berusia dua tahun hanya bisa memandang keramaian yang ada di rumah. Sedang putra saya yang lain, terlihat sendu sambil sibuk dengan pikirannya masing-masing. Banyak kerabat yang datang, rekan kerja suami, tetangga, dll. Saya hanya bisa menemui mereka dengan sikap tegar, bagaimana tidak? Ketika saya terlihat tidak tegar, putra-putri saya pasti akan semakin sedih.

10 Juni 2011

Terkadang bayangan akan suami saya yang senantiasa mengaji kala pagi dan sore sering berkelebat di kepala, ditambah pertanyaan Hatta yang belum mengerti kemana sang ayah pergi. Bermula dari kepergian suami, maka sayalah yang bertanggung jawab menggantikan beliau. Pekerjaan pertama waktu itu adalah sebagai seorang buruh pemecah lampu di kawasan sekitar rumah, karena tak ada pilihan lain yang bisa saya lakukan. Benar-benar hal baru bagi saya yang sebelumnya tidak pernah meninggalkan anak-anak dalam asuhan orang lain kecuali saat sekolah. Tetapi apapun itu, tak mungkin saya membiarkan mereka bertujuh merengek kelaparan karena tidak ada lagi yang bisa dimakan.

Juragan pemilik usaha pemecah lampu sepertinya tengah kehilangan pengepulnya. Dan bisa ditebak selanjutnya? Saya kehilangan mata pencaharian. Lagi-lagi, saya tak bisa menyerah begitu saja. Di rumah yang selalu banjir saat hujan tiba dan gelap karena keterbatasan listrik yang harus kami gunakan, saya mencoba berpikir pekerjaan apa yang bisa saya lakoni lagi. Sampai suatu ketika ada tetangga yang menawari pekerjaan sebagai tukang kebun di sebuah perumahan elit. Tanpa berpikir panjang, saya pun menerimanya.

13 Juni 2011

“Di rumah saja nak, di tempat kerja ibu panas, tidak bisa buat tempat bermain” , cegah saya entah untuk yang kesekian kalinya kepada si bungsu, Hatta.

“ikut..ikut...” rengek Hatta sambil menarik baju ibunya.

[imm]

(Bersambung)


Comments