Kemi, Cinta Kebebasan yang Tersesat


“Merasa senang dan nikmat dengan membaca merupakan syarat utama untuk dapat mengambil manfaat dari apa yang dibaca.”(Spiritual Reading-Dr.Raghib As-Sirjani&Amir Al Madari)

Rindu, setelah sekian lama tidak membaca tulisan pak Adian Husaini, pun dalam catatan akhir pekan ataupun di insistnet. Buku satu-satunya dan terakhir saya baca adalah Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam. Dan setelah sempat “menahan rasa” untuk tidak membeli novelnya, akhirnya hari selasa kemarin dengan bemodal uang yang ada didompet, saya beli juga. Kemi, Cinta Kebebasan yang Tersesat.

Itulah judul yang tertulis pada buku setebal 316 halaman ini. Sebagai pengobat rindu pemikiran dan tulisan beliau, hari ini saya selesaikan juga buku ini. Pemikiran yang mungkin lumayan njlimet bagi saya, mampu dijelaskan dengan lebih mudah dicerna dalam novel ini. Berkisah tentang dua sahabat, Rahmat dan Kemi yang berasal dari sebuah pesantren di Madiun (nggak nyangka kota kecil tercinta ini masuk setting tempat). Hanya berkutat di beberapa tokoh saja, seperti Kemi yang menjadi seorang aktivis liberal, Rahmat yang banyak mempelajari pemikiran Islam, dan Siti yang sempat menjadi aktivis kesetaraan gender namun akhirnya bertaubat.

Di dalam novel ini, unsur cerita memang tidak terlalu kental, yang paling menonjol tentu pemikiran-pemikiran yang berusaha ditampilkan. Banyak dialog dan pendapat-pendapat yang tentu bisa menepis berbagai paham yang mungkin sekarang sedang marak. Seperti liberalisme, pluralisme, feminisme, dll. Seperti yang saya kutip dalam bukunya:

“Bagaimana kita memahami keadilan Allah, jika ada orang-orang baik seperti Bunda Teresa dan Nelson Mandela akan dimasukkan ke dalam neraka, sedangkan orang-orang jahat akan masuk surga hanya karena ia beragama Islam Rupanya pertanyaan semacam itu juga pernah disampaikan kepada Kyai Rois. Dan, jawaban Kyai Rois sangat mudah dicerna. Kyai Rois mengibaratkan iman sebagai pengakuan dan pembenaran. Aspek pengakuan tidak kalah pentingnya dengan aspek perbuatan. Dicontohkan, seorang anak yang tidak mengakui orang tuanya, seperti si Malin Kundang, dipandang sebagai anak durhaka, meskupun si anak rela berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Begitu juga orang tua yang tidak mau mengakui anaknya sendiri sebagai anak kandung-mungkin karena cacat-akan dikatakan sebagai orang tua jahat, meskipun anak itu diberikan perawatan dan pembiayaan yang baik” (Kemi, Cinta Kebebasan yang Tersesat-halaman 84)

Dan masih banyak lagi hal-hal yang bisa digunakan sebagai “senjata” untuk mematahkan pemikiran yang banyak disebarkan melalui berbagai macam cara ini. Kisah yang cukup unik, di tengah era globalisasi dan gemerlapnya dunia, masih ada sesosok orang yang haus dengan ilmu dan berusaha mengamalkan ilmu tersebut dengan kecintaan pada Allah. Nuansa pesantren cukup kuat karena memang tokoh utama dikisahkan berasal dari kalangan pesantren. Membuat saya rindu dengan nuansa pesantren yang hanya sempat disinggahi selama beberapa hari saat di Madura.

Pencegahan dan “perang pemikiran” inilah yang menjadi PR kita semua. Bahwa apa yang terjadi di sekitar kita ini bukan hanya karena fenomena biasa yang kita lalui begitu saja. Tapi andil apa yang bisa kita beri untuk perbaikan selanjutnya. Sebuah kalimat yang saya ambil dari buku Membuat Anak Gila Membaca karya M. Fauzil Adhim, “Sesungguhnya zaman itu disebut jahiliah bukanlah karena berpisahnya manusia dari pengetahuan, melainkan karena terpisahnya pengetahuan dari keimanan. ” Semoga apa yang sedang kita pelajari, apa yang sedang kita kerjakan senantiasa karena kecintaan pada Allah, karena rasa cinta seorang hamba pada Sang Rabb yang tidak bisa dibeli dengan apapun apalagi pemikiran dan perkataan yang jauh dari Aqidah Islam.

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)...”(QS Al An’aam:112)

[imm]

Comments