Bijak



Sudah semakin berbeda, ya beginilah seharusnya. Dunia terus berputar, jam terus berdentang, dan semua memiliki masing-masing orbitnya.

Sebuah percakapan riang yang seolah melepas sedikit “beban” beliau, “enak gitu ya sepertinya jadi mahasiswa” ucap salah seorang rekan kerja yang telah senior dibidangnya. “kelihatan dari wajahnya” tambahnya lagi.

Sayapun hanya bisa tersenyum. Mahasiswa? Terus terang sejak tidak memiliki KTM (Kartu Tanda Mahasiswa) lagi beberapa waktu lalu, saya mulai berpikir, sudahkah pilihan ini benar? Yup, mengakhiri status “mahasiswa” memang melegakan, tapi tentunya akan banyak sekali hal yang harus dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum benar-benar melepas status itu. Berbeda ketika kita lulus SD dan mau ke SMP atau dari SMP ke SMA atau dari SMA ke universitas. Ya, karena semua pasti ada “beban”nya masing-masing.
Sepanjang jalan yang teduh, kami masih berbicara tentang hal yang cukup lucu untuk dikenang. Saya bercerita saat masih menjadi mahasiswa baru di ITS, dan betapa butuh penyesuaian bagi saya yang tidak pernah terpisah lama dari orangtua. Dan kini, saat saya mau pulang, eh ibu menyarankan untuk tetap di surabaya dulu. Hehe. Kalau yang lain disuruh pulang, saya disuruh di perantauan dulu, bahkan malah disuruh merantau ke tempat yang lebih jauh.  

Masih beretorika dalam perjalanan dan percakapan singkat saya bersama orang yang tentunya memiliki jam terbang kehidupan yang lebih banyak daripada saya. Membuat saya teringat kata-kata seseorang yang penting bagi saya, “Bahwa seharusnya semakin dewasa itu akan membuat kita semakin bijak dalam menghadapi persoalan. Tidak cukup hanya adil, tapi adil dan bijak.“  beliau mencontohkan: saat seorang ibu memberikan uang saku Rp 2000 ke anaknya yang kelas 5 SD dan memberikan uang saku Rp 5000 ke anaknya yang kelas 1 SMA. Memang terlihat tidak adil, jika parameter adil itu “sama”. Tapi ibu itu bersikap bijak, karena kebutuhan anaknya berbeda.

Dewasa itu bertambah bijak. Ya, bijak menyikapi suatu hal. Bijak dalam mengeluarkan pendapat. Bijak dalam memutuskan sesuatu, dll. Dan saat menghitung-hitung usia lagi, angka belasan itu ternyata sudah terlewati beberapa tahun lalu. Bukan lagi anak-anak yang menanti orangtuanya menjemputnya dari sekolah, bukan lagi anak-anak yang meminta uang saku pada orangtuanya, bukan lagi anak-anak yang bisa menangis jika tidak dibelikan sesuatu oleh orang tuanya, bukan lagi anak-anak yang ngambek karena telat dijemput pulang sekolah oleh orang tuanya. Karena kita “tumbuh”, bukan sekedar fisik saja, tapi juga pemikiran, pemahaman, dan tentunya kebijaksanaan. 

Comments