Belajar Memaknai


“Berumah tangga adalah perjuangan untuk terus menerus menghidupkan cinta dari waktu ke waktu, ketika berbagai hal di sekitar berusaha mematikan perasaan kasih itu, sedikit demi sedikit” (Sakinah Bersamamu-Asma Nadia) 

Penggalan kalimat pada cerpen terakhir kumpulan cerpen “Sakinah Bersamamu”. Sebuah tulisan penutup yang cukup membuat saya merenung kemarin malam. Kembali memori berputar tentang sosok dua orang terkasih. Ayah dan ibu. Betapa sampai sekarang masih kurasakan resonansi sayang saat ibu bercerita tentang ayah. Resonansi rindu di saat bersamaan, rindu pada seseorang yang telah “mewarnai” hidup beliau selama berpuluh tahun. Dan resonansi itulah yang kurasakan kemarin malam. Mencoba memaknai rasa yang mungkin belum pernah kurasakan, namun dirasakan oleh ibuku. Istighfar..Allah, kuatkan beliau, lindungi beliau, tuntun beliau untuk menyerahkan segalaNya padaMu. Dan untuk yang dirindukan ibu, semoga kita bersama suatu saat nanti, dengan kebahagiaan yang teramat indah. 

 Dulu sekali, aku masih ingat, mungkin saat sekolah dasar atau sekolah menengah pertama. Beberapa teman atau sebagian besar teman-temanku mengungkapkan betapa “ayahmu keren ya”, “itu ayahmu? Masih muda ya?” dll, pujian dan sanjungan yang membuatku tanpa sadar mengidolakan ayahku pula. Pada saat yang bersaamaan aku berpikir, “Beruntungnya ibu memiliki suami seperti ayah”. Karena pada saat itu pula, bisa dibilang ayah atau biasa kusapa bapak ini menjadi salah satu orang yang lumayan berpengaruh juga meski setingkat desa dan karyawan perkebunan. Ya, saat itu aku merasa ibuku sangat beruntung. 

Seiring perjalanan waktu, tak mungkin sebuah pernikahan tanpa ujian, tanpa cobaan dan tantangan. Sempat sekali aku menyaksikan keduanya “ramai” di rumah. Ya, hanya sekali, itupun sepertinya keduanya saling menjauh hanya semalam. Dan setelah itu, entah apa yang membuat mereka kembali normal seperti biasa. Meski tanpa mereka sadari, saya merasakan beberapa perubahan baik sebelum maupun setelah kejadian “ramai” itu di rumah. 

Setelah sekian lama, ayah mulai sakit dan benar-benar tergantung dengan ibu. Sudah pernah saya tulis sepertinya di “Ibu, Aku Mencintaimu karena Allah”, tentang kesabaran ibu. Dan saat itu saya merasa, betapa beruntungnya Ayah mendapat istri seperti ibu. Ah..saya jadi teringat pikiran saya beberapa tahun silam kala itu. Betapa ibu beruntung bisa menikahi ayah, dan beberapa tahun kemudian saya merasa, betapa ayah beruntung memiliki istri seperti ibu. Dan setelah saya pikir-pikir lagi, keduanya pasti salling melengkapi. Saling berusaha untuk saling menumbuhkan. Seberat apapun beban yang ditanggung ayah selama pernikahan ataupun perjuangan sebesar apapun yang dilakukan ibu, keduanya sama-sama saling berusaha merawat pernikahan mereka. 

Di cerpen terakhir itu memang dikisahkan akhirnya, sang istri harus kehilangan suaminya karena meninggal. Hampir sama mungkin dengan ibu saya, masih selalu mengingat orang yang pernah berpuluh tahun dijadikan pemimpin dalam rumah tangga beliau, masih selalu merindukan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan saat berdua, masih menginginkan untuk melakukan pengabdian terbaiknya kepada suaminya. Dan membuat saya banyak beristighfar, betapa tidak pekanya saya terhadap kondisi ibu yang saya cintai. Maafkan anakmu yang tingkat sensitivitasnya ini masih sangat perlu diupgrade bu. InsyaAllah dengan doa kita, kita bisa menjalani indahnya sisa hidup sampai tiba saatnya nanti berkumpul kembali dengan bapak, insyaAllah. Rabb..ampuni kami dengan keterbatasan kami, ampuni kami dengan segala daya juang yang belum sehebat pendahulu-pendahulu kami, berilah petunjuk bagi kami untuk merengkuh indahnya berjuang di jalanMu, karenaMu.

Comments