Menulis...lagi!


Menyemai lagi, menulis. Rasanya sudah lama tidak menulis “sesuka” saya. Mungkin bahan bacaan saya yang semakin berkurang, mungkin saya tidak peka dengan kondisi lingkungan yang menyimpan berjuta hikmah, atau mungkin juga karena saya terlalu malas untuk mulai mengetik apa yang ada di pikiran saya. Sepertinya terlalu banyak alasan atau sebenernya saya mencari-cari alasan supaya enak dibaca diri sendiri maupun orang lain. hehe. Sudahlah...

 Banyak hal yang tak “tersejarahkan” akhir-akhir ini, banyak hal yang “lewat begitu saja” tanpa saya sempat untuk memaknainya dalam tulisan. Sempet sedih dengan melihat blogroll saya yang semakin bulan tidak menunjukkan penambahan yang signifikan bahkan malah menurun. :P 

 Kapan lalu saat di Sakinah, seperti biasa, buku-buku dengan cantiknya tertata rapi di rak-rak yang selalu memanggil-manggil. Selalu nampak lezat. Seperti kue yang manis di etalase toko kue. #mulai berimajinasi di tengah pabrik coklat charlie wonka. Ya, senang melihat banyak buku-buku dan mulailah keinginan buat beli buku. Padahal uang udah ngepres alias gak ada budget lagi buat beli buku. Secara ada beberapa buku yang meskipun sudah terbuka plastiknya tapi belum selesai dibaca, atau malah ada buku yang masih plastikan dan tentunya belum dibaca. #gimana caranya coba? Ok, cukup sudah untuk prolognya. 

Satu buku lumayan tebel dari beberapa waktu lalu sudah “memanggil” untuk dibaca. Buku berjudul “Mereka Bilang Aku Teroris” tulisan Pipiet Senja. Ya, mengenal tulisan beliau mungkin saat saya sekolah dasar atau sekolah menengah pertama, novel yang sayapun lupa namanya. #parah dah ingetannya. Tapi alhamdulillah masih inget nama penulisnya. Bercerita tentang seorang remaja penderita talasemia, sama seperti beliau yang juga memiliki sakit talasemia. Ya, kenapa saya penasaran dengan buku “Mereka Bilang Aku Teroris”, karena ada kata-kata menulis. Singkat, namun sungguh saya rindu. Rindu menulis apa yang ada di pikiran saya, rindu menulis segala makna hidup yang saya lalui sehari-hari. Kalau melihat deretan tulisan di blogroll, lagi-lagi saya harus bersyukur, karena sempat menuliskan warna hidup saya kala itu.#edisi memotivasi diri sendiri. 

Buku karya Teh Pipit belum usai kubaca, tapi beberapa cerita yang ada didalamnya membuat jari-jari ini ingin menyentuh keyboard namun bukan untuk mengerjakan laporan yang sesungguhnya juga harus segera diselesaikan.#ups. Tapi untuk menulis. Mencari irama menulisku lagi. Berisi berbagai pengalaman pribadi Teh Pipit dalam menyebarkan semangat menulis di seluruh nusantara dan luar negeri. Kegigihan seorang penulis yang ingin berbagi mengenai ilmunya. Luar biasa. Di tengah sakitnya yang mengharuskan beliau melakukan transfusi dalam rentang waktu tertentu, usia yang tidak lagi muda, aktivitas yang padat, beliau masih saja bersemangat menyebarkan virus menulis dan tentunya menghasilkan karya.

 Menjadi motivasi tersendiri ketika membaca pengalaman-pengalaman beliau. Baik motivasi untuk menulis maupun motivasi hidup dan bermanfaat. Ya, dengan kesederhanaan cerita di tiap babnya, dengan bahasa percakapan yang mudah dimengerti oleh pembacanya, maupun “ruh”semangat dalam setiap kalimat yang terangkai. Semoga “virus” ini bisa bertahan lama, tidak sekedar saat ini. Ketika mulai malas menulis, buku ini bisa menjadi pemicu kita untuk mulai menulis dan menulis lagi. 

 Sejatinya, menulis lebih tepat disebut sebagai keterampilan daripada sebuah disiplin ilmu. Karenanya, kemampuan menulis seseorang tidak berbanding lurus dengan berapa banyak teori tulis menulis yang ia pelajari atau pelatihan jurnalistik yang ia ikuti, melainkan sesering apa ia mengasah keterampilan menulisnya. Sebagai sebuah keterampilan, setiap orang bisa mengasah bakat jurnalistiknya. (Andi Rahman, MA-Anak Bangsa di Batas Negeri)

Comments