Cerbung #Episode: Jalanan Biasa



Jalan berdebu ini, dengan kanan-kiri trotoar usang yang sejujurnya minta segera diperbaiki. Geliat siang yang menyambut berbagai macam kendaraan berlalu-lalang dengan kecepatan rata-rata. Selintas, melihat traffic light yang masih menunjukkan ‘merah’ namun beberapa kendaraan yang memang sedari awal mengincar posisi terdepan langsung tancap gas begitu celingak-celinguk jalanan terlihat sepi. Di tepi trotoar saya hanya bisa melihat pemandangan yang ‘sudah biasa’ tersebut dengan berharap pada Allah, ‘Semoga Engkau memberi kesadaran’.

Ketika kurasa cukup ‘menikmati’ jalan-jalan sore saya kali ini, sayapun mengambil motor yang  diparkir pada salah satu supermarket yang kini kian menjamur. Hobi jalan-jalan sambil mengamati jalanan ini nampaknya cukup rutin saya lakukan. Untuk apa? untuk menghasilkan pengamatan yang pas dan menuangkannya dalam beberapa lembar cerita. Yah, cukup untuk hari ini, saya berkata pada diri sendiri. Bukan saja untuk cerita sebenarnya, tapi untuk menghidupkan ‘rasa’. Bahwa banyak hal yang mungkin terlewat dalam hidup kita tanpa kita maknai dengan seutuhnya.

Dan jalanan kecil bernama delima ini yang hampir menjadi saksi hidup selama menjadi mahasiswa di sebuah kampus negeri Kota Surabaya. Hampir sampai di ‘Rumah Muslimah Pembangun Peradaban’ (RMPP), saat sekelompok anak kecil mulai memanggil dan saling bersahutan. “Mbak Ratih...” sambut novi saat melihatku melintas di dekatnya. Dan akupun menghentikan lajuku yang hanya tinggal 15 meter dari kos. “Mbak Ratih bonceng sampai depan rumah ya...” tambah zahra sambil siap naik ke atas boncengan motorku. “Iya, naik aja”jawabku. Dan merekapun naik. Oh ya, kenapa mereka? Karena mereka ada 3 orang. Novi, Zahra, dan Seli, yang rumahnya ada di depan RMPP.

Mereka, gadis kecil yang dengan setianya selalu memanggil nama kami satu persatu saat masuk ke RMPP. Mulai dari mbak pipin, mbak lina, mbak siti, mbak wati, mbak ifah, ataupun mbak nurul. Dan dengan sapaan kami yang sederhana, mereka selalu dengan riang membalas dan mengerumuni kami. Dan ‘ritual bonceng’ ini mengingatkan saya tentang hal yang sama namun pada tempat dan kondisi yang berbeda. Anak-anak seusia mereka di daerah yang bisa dibilang mengakselerasi pendewasaan jiwa. Anak-anak yang sempat mengisi tiap pekan dengan rengekan, gelayutan kadang pertengkaran, kadang senyum yang terkembang. Ah, sudahlah tak akan pernah habis jika membahas kehidupan anak-anak di lolly, salah satu lokalisasi di sudut kota.

Ya, dan sampailah kami di depan RMPP. Sebuah rumah yang berukuran cukup. Cukup untuk menampung kami bertujuh. Di depannya hanya ada sedikit lahan untuk ‘berkebun’, kami menaruh beberapa tanaman dalam pot, mulai dari jeruk purut, bunga kenanga, mawar dan  melati. Rumah ini bercat hijau muda, dengan pagar sederhana hijau tua. Di dalamnya terdapat ruang pertemuan, lima kamar tidur, dua kamar mandi, dapur, dan di atas ada tempat jemuran yang sebenernya seru buat melihat langit yang sedang biru ataupun berbintang, Namun kami jarang melakukannya bersama, hanya ketika menjemur atau mengambil pakaiannya saja sambil merasakan semilir angin, hembusan daun-daun pohon mangga tetangga, ataupun obrolan depan rumah yang sering terdengar dari atas.


Di ruang pertemuannya terdapat rak buku, lemari dan mading piket. Tanpa kursi tamu, tanpa alas untuk berkumpul. Mengingat kota tercinta ini memiliki suhu udara yang sering di atas rata-rata. Di sanalah setiap pagi kami berkumpul, shalat berjama’ah, makan bersama, mengerjakan tugas bersama, sampai menggosip bersama. Eittss...

Comments