Muara Pilihan

“Tidak ada tantangan yang lebih berat melebihi ketidakpastian akan hari esok. Sebab, sebaik apapun kita menyusun langkah, masih banyak faktor lain tentang hari esok yang sama sekali tidak kita ketahui, dan karenanya tidak mudah untuk dikendalilan” (Tarbawi edisi 300)

Pagi itu, 25 Agustus 2013 diawali dengan tidak bisa dihubunginya Ainun. Jadilah Isti menunggu di stasiun manggarai tanpa kepastian. Hehe. Tapi di muara kegalauannya, akhirnya ketemu juga dengan Ainun dan melanjutkan perjalanan ke Bogor. Kayak di sinetron-sinetron gitu dah. Memang kita berempat sudah berencana untuk bertemu di Bogor pada hari itu. Setelah ketidakpastian dari saya karena belum tentu ke Bogor peka itu. Tetapi Allah ternyata memberi kesempatan bagi saya untuk memilih dan melalui pilihan itu pula akhirnya saya ke Bogor dan bertemu dengan saudara-saudara nusantara di agenda dua dekade, jalan-jalan dengan mbak marii yang lumayan lama nggak bertemu, dan berkumpul dengan mon-mon di suasana yang tetap hampir sama saat kita masih di kampus.

Janjian bertemu di pintu 1 Kebun Raya Bogor, awalnya sih mau masuk ke dalem, tapi setelah dihitung-hitung waktunya tidak mencukupi, akhirnya kita langsung cap cus nyari cemilan. Isti dan Ainun nyari sarapan lebih tepatnya, sedangkan saya dan ummu yang sudah sarapan nyari kudapan pagi. Hoho. Dan tujuan kita adalah daerah hotel Pangrango yang sempet saya ceritakan di tulisan sebelumnya. Ada bagian yang mau saya ceritakan di sini tentang kejujuran pak sopir angkot, jadi angkot di Bogor jauh dekat biayanya beda, dan kita biasanya mengira-ngira mau bayar berapa. Dari pintu 1 ke daerah pangrango  kita kira-kira bayarnya 3rb, nah jadi kita bayar 12rb, pas bayar ke bapaknya, ternyata kata bapaknya kebanyakan dan dikembaliin deh beberapa ribu. Meskipun tidak banyak yang dikembalikan, paling tidak bisa memberikan kami gambaran tentang pentingnya kejujuran.

Cuma poto-poto di depannya doang
Kita berbelok ke Kedai Kita untuk mencoba beberapa menu, saya dan ummu ngemil pizza bakar. Ainun memilih mie tim yam sea food, isti menjajal zoupa soupnya. Meskipun pada akhirnya kita saling mengincipi makanan tetangganya, karena serunya makan bareng dengan menu yang berbeda ya itu tadi, mengincip bersama. Banyak hal yang kita bicarakan, terutama harapan untuk selalu terjaga meski sudah jauh dari ‘pengkaderan’ kampus. Tidak lupa rencana bertemu lagi di kota yang berbeda dengan anggota yang lebih lengkap. Jadi kemana?

Karena sebelumnya saya sudah izin untuk segera mengakhiri pertemuan, kamipun segera menyelesaikan makan dan menuju ke tempat berikutnya, Stasiun Bogor. Dan pada akhirnya, semua membersamai saya ke RSI Cempaka Putih untuk menjenguk bude. #terharu. Tralala.. hari sabtu-ahad konon kabarnya menjadi hari-hari yang lumayan sepi di KRL, tapi ternyata.. tetep aja rame menurut saya. karena pada banyak yang berdiri pas kita menuju ke stasiun pasar senen. Sekitar dua jam, hampir nyampe di stasiun senen dan ternyata nggak berhenti. Jreng..jreng, turunlah kita di stasiun berikutnya, Sentiong. Karena buru-buru dan nggak tau arah angkatan umum, akhirnya kita memutuskan naik baj... eh, nggak jadi karena kata Isti baj.. harus pesen dulu mau pake rem atau nggak. Ngeri to? Hehe. Naksilah kami ke RSI Cempaka Putih.

Lewat sini lagi siangnya
FYI, RSI ini ada jam jenguknya, jadi kalau mau ke sana cek dulu ya jam berapa aja jam jenguknya. Tapi bisa juga izin ke petugasnya kalau bener-bener bisa jenguknya jam sekian, saya kemarin begitu karena kalau nunggu jam jenguk bisa-bisa kemaleman balik ke Bogornya. Sesampainya di ruang Bude, rasanya seperti de ja vu. Sama saat ngobrol imajinatif bersama ayah saya setahun lampau. Tanpa jawaban, hanya tanda dan dengungan. Tak lama di sana, karena kami harus segera kembali ke tempat masing-masing. Saya dan ummu melanjutkan perjalanan ke Bogor, Ainun kembali ke Bekasi, dan Isti kembali ke kosnya di sekiataran situ (lupa nama daerahnya). Pertemuan yang singkat namun seperti replika kehidupan, banyak pilihan yang harus kami lalui. Mulai dari pilihan tempat bertemu, pilihan tempat ngobrol, pilihan pergi ke senen atau nggak, pilihan naik transportasi apa, dll. Muara pilihan yang begitu banyak dan kami harus siap dengan segala kejutan dan konsekuensi dari berbagai pilihan yang telah ditentukan.

Ini nih yang paling tidak terduga, pas sudah memutuskan untuk ke Jakarta pada hari itu juga saya memprediksikan nyampe RSI sore dan langsung balik, maksimal jam 17.00 udah menuju stasiun senen. Lumayan terlaksana, karena saya dan ummu naik KRL ke Bogor sekitar jam 17.40 atau jam 18.00 kuranglah, lupa tepatnya. Dengan harapan jam 19.30 sudah sampai ke stasiun Bogor dan kami berpisah, ummu ke Parung dan saya ke Ciawi. Di tengah perjalanan, ternyata diumumkan ada masalah pada salah satu jalur di stasiun manggarai dan tidak dapat dipastikan kereta berangkat jam berapa. Kamipun sempet ber-ohh ria saat mengetahui kenyataan ini, karena bisa dipastikan kalau kami akan dateng lebih malam dari yang diperkirakan.

Bangku samping depan kita mu
Jadilah kami mengobrol tentang pilihan. Betapa Allah punya sejuta cara untuk membuat kami belajar. Kalau diingat-ingat mundur, kita nggak pernah memprediksi bakalan jadi PH JMMI dua tahun lalu, kita berdua nggak akan memprediksi tempat tinggalnya berbeda jauh, saya nggak menyangka kalau akhirnya saya memutuskan ke Bogor, nggak mengira kalau pertemuan singkat dengan mereka bertiga mengingatkan saya akan ukhuwah yang saya rindukan, dan kita tidak pernah tau ujung atau muara akhir dari pilihan kita ada di mana. Sama ketika saya dan ummu pernah membicarakan tentang muara ini beberapa bulan lalu, sebelum ummu akhirnya pergi ke Parung. Pada akhirnya, hidup terus berlanjut dengan tantangan esok hari dan pilihan yang harus kita tentukan. Sedangkan muara dari pilihan kita hanya Allah yang tau pasti tentang cerita akhirnya.


“Keberlangsungan merupakan prinsip utama dalam kehidupan kita. Sebab bukan semata sejauh mana kita memiliki harapan, tapi setahan apa kita terus menerus melanjutkan setiap langkah, yang akan mengantarkan kita ke pusat harapan itu. Ini bisa tentang apa saja yang berbeda-beda. Tetapi semua berpijak pada satu hal, adakah kita punya alasan yang kuat untuk terus berlanjut” (Tarbawi edisi 300)

Comments

Nuris said…
suka banget sama tulisan ini ^^
Immash said…
jazakillah ukh..
ayo, blognya diupdate. :)