Cerbung (lagi) : Merindukan Ayah Seperti Bumi yang Selalu Merindukan Hujan


Hujan , kali ini kupercepat langkahku untuk mencari tempat berteduh. Memang dari tadi pagi langit sudah menunjukkan mendung yang bergelayut manja pertanda akan adanya salah satu rahmat Allah yang akan jatuh ke bumi. Dan aku, masih saja puas dengan jaket yang memang biasa kukenakan tanpa membawa payung atau jas sepatu yang dibelikan ibu beberapa waktu lalu. Seperti biasa, menyusuri jalanan kampus yang cukup rindang dengan trotoar yang sudah diperbaiki beberapa waktu lalu. Dan tanpa dikomando..gerimis kecil yang kuanggap sebagai peri kecil yang turun ke bumi semakin menunjukkan perubahan ukuran dan kerapatan.

Sambil berlari ke teras fakultas, aku teringat dengan satu sosok yang selalu mengkhawatirkanku saat hujan datang. Ayah. Belum sampai saya mengingat peristiwa tentang hujan dan ayah, dari belakang pundak saya ditepuk oleh salah satu teman.

 “Hi,Melodi!”
Sambil masih berlari kecil, saya menengok ke samping karena orang yang menepuk pundak saya sudah bersisian di sebelah kanan.

“ah, hai me-chan” ternayata dia teman sekelasku me-chan, gadis Jepang yang sudah lama tinggal di Melbourne dan orang tua Jepangnya fasih berbahas Indonesia sekaligus mengajarkan me-chan bahasa Indonesia selain sebagai dosen di kampus yang sama namun dengan jurusan yang berbeda tentunya.

Kamipun berlari kecil bersama untuk mencapai teras fakultas yang terlihat hangat dan teduh di depan sana.

“Akhirnya sampai juga, Alhamdulillah” ujarku ketika menginjakkan kaki di teras fakultas yang ternyata juga ramai dengan beberapa mahasiswa yang berteduh.

“mari kita masuk melodi” sahut me-chan mengaburkan lamunanku yang sebenarnya sambil mencari orang yang berjanji akan membawakanku buku yang lama ingin kubaca.

“eh, iya me-chan, kamu duluan saja ya, aku nunggu mas abimanyu, katanya mau minjemin buku yang dari lama pengen dibaca. Katanya dia bakalan ke teras fakultas ini  sekitar jam segini.”

“Yakin nunggu di sini? Kamu lumayan basah, dan di sini cukup crowded, mending kita ke aula saja, tunggu di selasar yang agak hangat.”

Bener juga me-chan, aku perlu tempat buah membuat suhu badan kembali normal dari hujan yang lumayan membuat kaos kaki basah, ujung rok yang juga basah, dan sebagaian kerudung peachku terkena air hujan.

“Oke deh!” tinggal menghubungi mas Abimanyu dan memintanya untuk ngasih buku di aula pikirku saat itu.

Oke well, Mas Abimanyu ini sudah kuanggap sebagai kakak di sini, selain karena nggak punya kakak beneran. Dia yang mengantarkanku di tempat tinggal yang lumayan nyaman bagi seorang muslimah perantauan di sini. Aku sebenarnya dulu mendapat kontak mas Abimanyu dari Lila, temen kampus di Indonesia, yang punya keluarga di Melbourne. Jadilah mulai dari tempat tinggal awal aku ditampung dulu di rumah keluarga mas Abimanyu yang ternyata sudah sekitar 25 tahun tinggal di sini. 

Keluarganyapun sebenernya cukup rame, tapi yang usianya sepantaran denganku cuma mas Abimanyu. Ada kakaknya, kak rita, sudah berkeluarga dan tinggal di Australia Selatan, Adelaide bersama suami dan anaknya. Ada Cika, gadis mungil yang sekarang duduk di high school. Ada Dito, bocah imut yang masih di junior high school.  Tante Ratna dan Om Bhisma sangat baik menerimaku di awal-awal pindahan. Dan akhirnya aku dicarikan flat yang lebih deket dari kampus dan biaya yang masih bisa dijangkau. Di sana aku juga tidak tinggal sendirian, Tante Ratna dan Om Bhisma bisa dibilang orang tua kami semua, mahasiswa Indonesia yang tinggal di Melbourne. Jadi kami dicarikan tempat yang lumayan kondusif untuk ukuran muslimah. Bersyukurlah saya bisa mengenal keluarga ini.

Di aula, sambil mengeringkan ujung rok dan  menukar kaos kaki dengan kaos kaki cadangan yang selalu kusiapkan, terlihat rintik hujan yang masih rapat dari kaca besar yang tepat ada di samping kami duduk. Ayah dan hujan, entah bagaimana aku mendefinisikannya. Kembali pada lamunan awalku, tentang Ayah dan hujan. Aku rindu padanya saat hujan, ah sebenarnya aku selalu merindukannya dalam kondisi apapun, tapi hujan seolah menjadi pelengkap dari segala kerinduan yang aku miliki. Kerinduan pada sosok yang selama 22 tahun menjadi satu-satunya laki-laki yang akan selalu kebingungan saat hujan dan aku tidak ada di rumah. Orang yang akan selalu menjadikan bahunya sebagai tameng bagi gadis kecilnya saat hujan datang, orang yang akan selalu mencari telepon dan menghubungi putrinya saat hujan dan putrinya tidak ada di rumah. Yah ayah, melodi akan selalu merindukan Ayah seperti bumi yang selalu merindukan hujan.

(bersambung)

Comments