Banyuwangi : Ijen Part 4

ceritanya mau poto di plang-bersama rombongan abang2 yg baru dikenal sore harinya, kecuali teman random sebiji
 *oh tidak pipi saya tetep gembil

Ternyata mendaki tidak sesederhana yang saya bayangkan, fisik tentu tidak bisa ditawar lagi dalam kondisi sehat, tapi melebiih itu semua adalah motivasi kita untuk terus melangkah meski kadang jantung berdegup begitu kencang  atau kaki rasanya sudah semakin enggan untuk diajak bergerak kembali

Perjalanan dimulai usai kami menyerahkan tiket masuk jalur pendakian kepada petugas. Gelap total sudah pasti, jadi jangan lupa bawa senter ya. Karena jalurnya nggak semuanya mulus, ada beberapa bagian yang berlubang dan pohon jatuh melintang terkena angin. Jadi penerangan sangat diperlukan untuk pendaki yang tidak terbiasa dengan jalur ini. Selain senter jangan lupa jaket soalnya lumayan dingin, beberapa kali rasanya pipi saya yang gembil ini aja kayak disapu es #eh.

Memang benar beberapa artikel yang saya baca di beberapa blog, kalo jalur pendakian ijen lumayan menanjak dari awal sampai mendekati akhir. Jadi kalo bisa olahraga atau latihan dikit-dikitlah sebelum mendaki, biar nggak kaget. Jalur pendakian sudah diperbaiki dengan aspal kasar meski belum sampai puncak kawah. Cukup mengurangi kelicinan jalan. Sepanjang perjalanan kami selalu bertemu dengan rombongan yang lain dari yang muda sampai yang sudah sepuh. Dari domestik sampai internasional. Senter lebih banyak saya arahkan ke bawah, tempat jalan-jalan berlubang kadang tidak dapat diduga.
salah satu contoh pohon melintang yg perlu diwaspadai
*model di atasnya nggak perlu diperhatiin
Beberapa kali kami beristirahat, nafas mulai terengah-engah, meski dingin saya tetap saja berkeringat. Jojo, sudah beristirahat sejenak beberapa kali dan akhirnya diputuskan kami berlima(saya, piko, syarif, zainul, lingga) untuk lebih dulu melanjutkan perjalanan. Sedangkan jojo, ocha, dan mbahe tetep tinggal sambil berjalan perlahan. Kami yang tinggal berlima semakin sedikit mengurangi obrolan, karena jalan menanjak yang tak kunjung usai. Di beberapa pinggir jalur pendakian terlihat beberapa orang juga istirahat sejenak untuk mengistirahatkan kaki dan mengatur nafas. Syarif yang berada paling depan di rombongan selalu bilang kalo jalan datar adalah “jackpot” karena emang jarang banget ada jalur datarnya. Kalaupun pas ketemu jalur datar, itu hanya berlangsung beberapa meter sampi ketemu kembali dengan tanjakan.

Di perjalanan pula kami bertemu dengan Pak Im yang sedang mengantarkan rombongan ke kawah ijen. Meski kami bukan rombongannya, tapi karena jarak antara rombongan kami dan rombongan yang diantar oleh Pak Im tidak begitu jauh, jadilah kami ikutan mendengar kisah beliau. Pak Im, sudah di kawasan Ijen dari tahun 1986, saat masih muda dulu beliau adalah salah satu penambang belerang di kawah ijen. Beliau bertutur kalau penambangan zaman sekarang ini sudah jauh berbeda dengan zaman dulu. Sekarang jarak antara Paltuding dengan Kawah Ijen berkisar 3 km, dulu para penambang harus melintasi jarak 24 km tanpa jalur seperti yang sekarang ini sudah dibuat. “Berangkat pake sandal baru, pulang udah nggak pake sandal lagi” kata beliau. Pak im masih terus mendaki sambil bercerita dan beberapa orang dalam rombongan menanggapi sekenanya. Nafas beliau nampaknya lebih panjang dari kita-kita yang muda ini, padahal beliau juga membawakan beberapa barang bawaaan rombongan yang diantar lho.
ini nih Pak Im yang kami temui di sepanjang jalur pendakian sampai akhirnya sampai di puncak

Saat sudah melewati Pos akhir sebelum kawah ijen, rasanya sudah lumayan bahagia karena konon kabarnya tinggal beberapa ratus meter lagi sebelum sampai kawah ijen dan jalannya tidak menanjak seperti jalur sebelumnya. Tapi sepertinya ini tidak berlaku untuk saya. hehe. Jalanan aspal agak lebar sudah berganti dengan tanah gembur yang lebih sempit dengan sisi kanannya adalah jurang. Sebelah kirinya bukan lagi pohon atau tumbuhan, tapi bebatuan kapur. Karena saat itu dini hari, jadi belum ada cahaya yang membantu kami membaca jalur selain senter dan rombongan. Sementara rombongan kami sepertinya sudah mulai terpisah. Saya yang emang jalannya pelan-pelan dan nggak bisa melangkah lebar tertinggal di belakang. Tak apa-apa, pelan-pelan sambil menikmati langkah dan ritme nafas saya yang sudah semakin pendek plus jari kaki yang mulai kram. 

Comments