Membangun Istana Pasir

Duren mulai betebaran di sudut kota maupun sudut kulkas #eh, pertanda musim durian sudah datang kembali. Inget durian, kadang bikin saya kembali ke satu tahun lalu. Perburuan tempat makan yang bisa sekalian dipake buat makan duren yang udah dibawa sendiri. Hoho.

Ceritanya waktu itu saya masih jadi panitia salah satu kegiatan Dompet Dhuafa Jawa Timur yang diadakan di Malang, tepatnya di Universitas Muhammadiyah Malang. Tepat sepekan setelah saya pulkam yang nggak balik lagi ke Surabaya. Judulnya saya masih jadi tukang kesana kemari di agenda ini, jadilah saya datang lebih dulu di Malang sebelum tim kantor ceria DD Jatim datang. Mulai dari koordinasi dengan panitia lokal (Teater Bel Baba UMM), ke RRI, sampai akhirnya berdiskusi dengan pemateri utama saat itu, Pak Eri Sudewo (Wartawan Senior, salah satu pendiri Dompet Dhuafa dan penulis sekaligus penggiat ‘Character Building’.)

Saya mengenal beliau pertama kali saat beberapa tahun sebelumnya di Lembang, saat pelatihan character building khusus buat para pendamping Etos Nusantara. Emang, beliau bisa membawa nuansa yang khas saat berjumpa, yang tadinya rame jadi senyap, yang tadinya lagi sibuk apa langsung menghentikan kegiatannya. Dah apa ya namanya, bisa bikin effect “pause” sejenak, hehe. Begitu juga saat akhirnya saya bisa semeja makan bareng beliau. Setelah sebelumnya di mobil yang berisi saya, pak bashir, pak zein dan pak abdullah(saya lupa namanya, suami dari ibu2 yang bergabung di Migrant Institute DD Hongkong pokoknya) bercerita panjang lebar tentang betapa ‘perfecto’ nya Bapak yang mau kita temui ini.
Sampai harus survei tempat makan sekaligus tempat diskusi tentang acara yang akan diadakan esok hari. Tapi bukan sekedar tempat makan karena seperti yang saya tulis di awal, tempat makan yang bisa sekalian buat makan duren yang dibawa sendiri.

Tidak sukses di tempat makan pertama, dan akhirnya kita mojok di restoran padang. Begitu duduk, ternyata pak eri langsung memberikan tebakan, “ayo coba ini yang punya orang padang atau bukan?” kamipun hanya bisa menebak dalam hati sambil sesekali melempar pandang tidak mengerti. Dan akhirnya pak eri menjelaskan, kalo yang punya pasti bukan orang padang. Ha? Kok bisa, batin saya. “Soalnya, ini lampunya nggak begitu terang, nggak semua mejanya kotak, ada kursi yang tidak punya sandaran” kata beliau sambil menunjuk bangku panjang di belakang saya. Eh, begono yak ciri-cirinya. Setelah acara makan di restoran padang yang bukan punya orang padang selesai, sambil menunggu makanan turun ke perut (lha emang kemana lagi), akhirnya tuh duren yang udah dibawa Pak Abdullah dari batu, pujon atau ngantang saya lagi-lagi lupa , dibuka dan eng ing eng... rasanya tawar. Semakin jauhlah jamuan kita untuk bapak yang perfecto ini.

Akhirnya ngobrolah kami ngalor ngidul, tentang aktifitas beliau, tentang seminar character building yang sedang beliau jalani keliling Indonesia, tentang pemilu yang emang lagi hot-hotnya saat itu, dan tentunya tentang project terbaru beliau,  buku mengenai membangun istana pasir. “wah, tentang apa itu pak membangun istana pasir ” kata saya SKSD, kapan lagi bisa langsung tanya-tanya semeja sama bapak kece ini. “kamu tau istana pasir? istana yang dibangun dari pasir, biasanya anak-anak kecil bikin di pinggir pantai” pak eri menjelaskan. “ohhh, iya pak” jawa saya sambil berpikir hubungannya apa lagi ya. Dan akhirnya Pak eri menjelaskan kalau bangsa ini masih seperti membangun istana pasir, bangunan yang tidak kokoh dan sangat mudah dihancurkan. Kenapa? Ya karena nggak punya pondasi dan elemen yang kurang mendukung dalam proses pembangunan bangsa. Kalau saya menyimpulkan sih, kita belum bisa menggarap secara kokoh tentang pondasi yang seharusnya menjadi penopang bangsa.


Meski sebentar dan yang nimbrung cuma saya, pak zein dan pak eri tapi rasanya banyak hal yang bisa saya pelajari dari beliau. Kapan saya bisa baca buku barunya? #ngarep. 

Pak eri waktu mengisi character building di rakernas beastudi etos, lembang

Comments