Gunung Prau : Akhir

Setelah tanya sana-sini kami memutuskan untuk mendaki bukit yang berada di sebelah barat, dan lagi-lagi ternyata perjalanan terhenti. Karena pemandangan sebelah barat juga sangat cantik. Awan bergerak  perlahan di hadapan kami, menutup sebagian dataran tinggi dieng di bawah. Karena kabut sudah nggak ada, jadilah pemandangan yang melegakan. Ada gunung sih yang terlihat di sisi barat, tapi cuma satu yang terlihat. Setelah –lagi-lagi- poto2 kami memutuskan untuk segera bergerak karena sepertinya jarak masih lumayan jauh menuju parkiran patak banteng sedangkan matahari perlahan merangkak naik.

Perjalanan turun pada awalnya memang lebih banyak mendatar, sabana luas dengan bukit-buki kecil, rerumputan hijau, bunga daisy yang masih setia betebaran di beberapa tempat dan tenda-tenda pendaki yang ternyata juga tersebar sabana hijau ini. Kita pulang mau lewat jalur desa dieng yang konon memang lebih landai namun memerlukan waktu tempuh yang lebih panjang. Sampai akhirnya ada di sebuah persimpangan, satu belok kiri dengan kondisi jalan yang nampaknya jarang dilalui dan jalan lurus yang lebih landai. Berhenti dulu buat atur napas, sampai ketemu rombongan pendaki dari wonosobo yang sepertinya sudah beberapa kali ke prau. Akhirnya didapatlah info kalau lewat jalur yang belok kiri atau dikenal dengan jalur dieng kulon lebih deket daripada via desa dieng.


Dengan kaki yang sudah mulai lelah menghadapi jalur patak banteng semalem dan bayangan desa dieng yang masih jauh, berbeloklah kami ke jalur  dieng kulon dengan rasa optimisme tinggi. Jalanan turun langsung menyambut, tanah becek dan jalur sempit harus dilalui. Sampai entah berapa kilometer dari ujung belokan, saat jalur ternyata semakin sulit, saya udah mulai ngesot-ngesot karena takut terpeleset dan ngglundung bebas. Rasanya sudah pengen berhenti, duduk dan nangis sejadinya T.T, ini jalan apa. Sampai akhirnya sepertinya zainul yang ada di belakang saya merasa iba –atau kesel karena saya semakin melambat, haha- menawarkan sarungnya. Saya pikir, sarung dipake apa di saat seperti ini? Sarungnya dipake trus buat perosotan? Entah karena udah capek dan males pikiran saya kemana-mana.

Ternyata tu sarung maksudnya jadi tali pegangan pemirsah... wkwkwk. Dan jadilah selama beberapa meter ke depan saya megangin tu sarung sambil si empunya ada di ujung sarung lainnya. Nini-nini naik gunung, kayak gini jadinya. Akhirnya setelah mulai terbiasa dengan jalur, saya berpisah dengan sarung itu dan berpindah pada syal yang ditawarkan piko, hehe. Dari sarung pindah ke syal. Karena lambat, kami bertiga –saya, piko, rizal- entah bagaimana ceritanya berada di barisan paling belakang. Sempet ngomong ke piko dengan nada sedih plus terharu, “kayaknya aku trauma mendaki, aku nyusahin orang”. Dan pikopun menjawan dengan cool, “aku lho nggak merasa disusahin” sambil adegan kereta syal masih berlangsung. “suwun kooooo” pengen nangis terharu sambil nguyel2 pipi piko, hehe.

Jalur ini memang sepertinya jarang dilewati, karena jalan yang masih belum lebar dan juga nggak ada pos sama sekali. Tapi memang pemandangan yang kece juga sebenernya nggak akan pernah habis. Setelah bertanya-tanya sampai kapan ini semua akan berakhir, kita melihat perkampungan di bawah sana! Yes, sebentar lagi. Setelah hutan-hutan kita lewati, akhirnya sampai pada lahan kebuh milik warga. Dan.. dan... di bawah ada warung! Yang dilakukan pertama kali saat sudah mencapai rumah-rumah warga, ngedeprok sambil nggak peduli saya duduk di rumah siapa, ada orang-orang lewat saya cuekin, perasaan lega karena udah nggak akan ketemu jalur sempit bertanah becek bercampur aduk dengan rasa haru dengan segala yang sudah dilewati. Ya, lagi-lagi Allah sangat baik, terlalu baik bahkan dengan merencanakan segala hal , semoga kami bisa mengambil hikmah dari perjalanan yang kami lakukan.

Keheningan dipecahkan saat piko memesan teh hangat di warung sebelah. Akhirnya, pendakian ini berakhir dengan minum teh panas dan makan tempe mendoan di warung. Kami berenam –saya, piko, niken, dek yuni, zainul, rizal-, karena mas firman udah di bawah duluan, langsung ngelurusin kaki dan  menyesap aroma teh panas yang jadi enak banget setelah semua hal yang terjadi semalem.

We made it!

Terimakasih piko niken yang... bagaimana lagi aku harus mendeskripsikan kalian berdua #hiks semoga perjalanan ini akan terus berlanjut hingga tempat terbaikNya, terimakasih zainul yang sudah jadi semuanya dari menerima ‘kompor’ sampai mengatur segala hal, terimakasih dek yuni yang sudah kembali membawa jiwa muda diantara kami hehe, terimakasih rizal yang selalu kalem dalam menanggapi kehebohan kami, dan terimakasih mas firman yang muncul dengan tiba-tiba dan membuat perjalanan ini tetap jadi. Terimakasih warga dieng yang ramah sekali dengan kami para pendaki, semoga tetap terjaga keramahan dan kecantikan alamnya.




  

Comments