untuk apa


memandang lekat tiap detik gerak

mendapatkan selembut awan dalam teguhnya langit

menemukan gurat lelah sekaligus semangat yang masih saja menderu
meninggalkan segala keraguan yang sempat membuncah

seperti edelweis yang abadi atau dandelion yang rapuh
bisakah aku menerkanya? 
atau lebih tepatnya untuk apa aku menerkanya?

tidak akan ada yang berubah selama masih ada sekat dalam bingkai yang mengharap
meski tangan telah diangkat, tapi kalah dengan pena yang telah mengering
ukurannya hanya Allah yang paling tau

dan hanya bisa kembali mengenang elegi yang pernah tercipta
sambil mengendalikan degup yang terus berdetak

ya kan?

Comments