Perahu Kertas

Pagi ini sambil menunggu air bak mandi kembali penuh, kembali membuka satu novel yang tiba-tiba saja kebeli akhir pekan lalu #ah ini mah kayaknya ngeles aja tiba-tiba kebeli #monolog. Ya, saya sudah lama rasanya tidak membaca ceritanya dee. Semenjak madre yang sampai sekarang masih setia di rak buku, yang itu berarti mungkin sekitar 2-3 tahun. Karena saya nggak kuat baca supernova #hehe, jadilah pilihan jatuh pada perahu kertas atau rectoverso. Dan karena rectoverso lagi nggak mejeng di rak buku yang ada di toko buku jadilah saya beli perahu kertas. Film nya bahkan udah ada ya? Tapi saya selalu menyukai baca novelnya meski kadang pengen juga liat versi filmnya.

Lagi-lagi bahasa, cerita, tokoh yang  menurut saya ‘pas’ tidak berlebihan, meski saya belum selesai membaca novelnya juga. Baru separuh juga belum ada, hehe. Tapi saya selalu dibawa ke adegan-adegan yang tidak berlebihan. Bahasanya juga tidak mendayu-dayu tapi tetap saja menurut saya penuh teka-teki. Dunia teka-teki dee, mungkin begitu saya menyebutnya, meskipun mungkin orang lain tidak merasa seperti itu ya. Kalau diamati tokoh-tokoh yang ada di dalamnya, mungkin sudah sering kita jumpai sehari-hari entah karakternya, gesturnya, cara bicaranya, pemikirannya, dll. Tapi kok ya dengan bahasa teka-teki nya dee selalu membuat saya pas aja gitu ngeliat penokohan yang dibuat dalam novelnya. #ngeliat pake imajinasi sendiri, meski rada terganggu dengan bayangan tokoh2 yang dimunculkan dalam film karena jadi nggak bisa berimajinasi dengan bebas hehe, alias ikutan terpengaruh sama tokoh yang sudah ada di filmnya.

Saya baru baca sampai keenan akhirnya ‘pulang’ ke ‘keluarga’ nya di ubud, bersama pak wayan. Tapi entah kenapa kejadian kugy ‘memarahi’ keenan tentang impiannya di sekola alit sempat menggelitik saya. Ya, tentang impian, tentang arah hidup, tentang apa yang benar-benar kita perjuangkan dalam hidup. Duluuuu sekali mungkin waktu mahasiswa baru, masih teringat salah satu video yang selalu getol dipampangkan oleh mbak-mbak, mas-mas ataupun oleh saya sendiri kepada adek-adek. Video tentang seorang mas-mas dari salah satu PTN yang menuliskan impiannya secara detail, menempelkannya di dinding kamar, dan mencoretinya satu per satu. Hmm... gimana nggak tertarik dengan metode tersebut. Meskipun saya nggak menempelnya di dinding kamar dan nggak banyak yang saya tulis, saya pernah mencobanya.


Hingga hari ini saya sadar, saya sudah sampai titik ini. Titik bahwa impian itu bukan hanya milik diri sendiri. Titik bahwa segalanya memerlukan kompromi, memerlukan titik temu antara saya dengannya. Hal yang mungkin bisa saya lakukan, hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan, hal yang saya inginkan, hal yang diinginkannya, impian yang saya rangkai, impian yang dirangkainya, dll. Mungkin saya bukan kugy yang untuk mencapai impiannya harus melewati jalan memutar bahkan kadang  tidak menjadi dirinya sendiri. Mungkin saya juga bukan keenan yang awalnya memutuskan jalan memutar untuk mencapai mimpinya namun akhirnya memilih jalan lain hingga tak perlu memutar lagi. Yang jelas, ada hal yang hingga kini tak bisa untuk tidak saya lakukan dan bisa jadi hal tersebut merangkai salah satu impian saya. Hal yang juga disepakatinya, karena menurutnya saya akan menjadi saya jika saya melakukannya. Hal yang mengikat rasa.

Comments